Thursday, July 31, 2025

Khadiraṅgāra Jātaka

 (Khadiraṅgāra Jātaka)


Pada saat itu, Anāthapiṇḍika berbicara di hadapan Sang Guru (Buddha) mengenai kualitas dirinya sendiri: “Bhante, meskipun makhluk dewa ini melarang saya untuk mengunjungi Buddha dan melakukan perbuatan-perbuatan bajik lainnya, ia tetap tidak mampu menghentikan saya. Meskipun saya dilarang untuk memberikan dana, saya tetap memberikannya. Barangkali ini, Bhante, adalah kualitas kebaikan saya.”

Sang Buddha berkata: “Engkau, wahai kepala keluarga, adalah seorang sotāpanna, seorang siswa mulia, memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan, dan memiliki pandangan yang murni. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa makhluk dewa yang kurang berpengaruh ini tidak dapat menghentikanmu. Namun, yang benar-benar mengagumkan adalah bahwa pada masa lampau, bahkan ketika Buddha belum muncul, dan para makhluk bijaksana masih berada dalam pengetahuan yang belum matang, mereka tetap tidak tergoyahkan oleh Māra, penguasa alam indria, yang berdiri di angkasa dan berkata, ‘Jika kamu memberikan dana, kamu akan lahir di neraka ini,’ sambil memperlihatkan lubang arang yang dalamnya delapan puluh hasta. Walaupun mereka diancam demikian dan diperingatkan untuk tidak memberikan dana, mereka tetap memberikan persembahan dengan berdiri di tengah-tengah bunga teratai. Inilah yang sungguh luar biasa.” Setelah berkata demikian, atas permintaan Anāthapiṇḍika, Sang Buddha menceritakan kisah masa lampau.

Pada masa lampau, ketika Raja Brahmadatta memerintah di Bārāṇasī, Bodhisatta terlahir dalam keluarga seorang bendahara (seṭṭhi) di kota Bārāṇasī. Ia dibesarkan bagaikan seorang putra dewa, dengan segala jenis kemewahan dan kenikmatan. Seiring waktu, ketika mencapai usia kedewasaan, pada usia enam belas tahun ia telah mencapai kepandaian dalam semua keterampilan.

Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan posisi sebagai bendahara, lalu membangun empat balai derma di keempat gerbang kota, satu di tengah kota, dan satu di depan rumahnya sendiri—jadi total enam balai derma. Di sana ia memberikan derma besar (mahādāna), menjaga sila (moralitas), dan melaksanakan praktik uposatha (hari suci untuk latihan spiritual).

Pada suatu hari, saat waktu makan pagi, ketika makanan lezat dan berbagai hidangan istimewa disajikan kepada Bodhisatta, seorang Paccekabuddha yang telah keluar dari meditasi (nirodha-samāpatti) selama tujuh hari memperkirakan bahwa sekarang adalah waktunya untuk pergi berkeliling menerima dana makanan, dan berpikir, “Hari ini aku sebaiknya pergi ke pintu rumah kepala kota Bārāṇasī.” Maka ia mengunyah sepotong kayu siwak (tanaman sirih hutan) dari pohon Nāga dan mencuci mulutnya di danau Anotatta (artinya: Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta). Kemudian, ia mengenakan jubah bawah (antaravāsaka) sambil berdiri di atas batu putih yang bersih, mengikatkan sabuk, mengenakan jubah atas (uttarāsaṅga), dan mengambil patta-nya (mangkuk derma). Dengan kekuatan pencapaian batin (iddhi), ia terbang melalui udara dan tiba tepat di gerbang rumah tempat Bodhisatta tinggal, bersamaan dengan saat hidangan sarapan sedang dipersiapkan untuk Bodhisatta.

Ketika Bodhisatta melihat Paccekabuddha dari kejauhan, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan memandang ke arah pelayannya sebagai isyarat bahwa suatu pelayanan diperlukan. Melihat isyarat itu, pelayannya berkata,
“Tuanku, apa yang harus saya lakukan?”
Bodhisatta menjawab, “Ambillah mangkuk (patta) dari Bhikkhu Agung itu.”

Pada saat yang sama, Māra si Jahat, menyadari situasi itu, menjadi gelisah dan berpikir dalam hati:
“Hari ini adalah hari ketujuh sejak Paccekabuddha ini terakhir kali menerima makanan dana. Jika ia tidak mendapat makanan hari ini, ia akan mati. Aku akan menghancurkannya dan mencegah saudagar besar ini (Bodhisatta) memberikan derma.”

Dengan niat jahat itu, Māra menciptakan sebuah lubang sedalam delapan puluh hasta, yang penuh dengan bara api merah menyala dari kayu Khadira, tampak seperti Neraka Avīci itu sendiri. Lubang ini terbentang di antara rumah Bodhisatta dan tempat berdirinya Paccekabuddha. Setelah menciptakan rintangan yang mengerikan itu, Māra sendiri berdiri melayang di udara, menyaksikan upaya untuk menghalangi pemberian dana tersebut.

Ketika pelayan yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu melihat api besar, mereka terkejut dan segera mundur.

“Apa yang membuatmu kembali lagi?” tanya Bodhisatta.

Pelayan itu menjawab, “Tuanku, ada lubang besar penuh dengan bara api merah menyala yang membakar di jalan.”

Bodhisatta lalu menyuruh pelayan kedua dan ketiga, tetapi mereka pun kembali karena takut akan api.

Bodhisatta merenung,
“Hari ini Māra si penggoda hendak menghalangi pemberian danaku. Tapi ia tidak tahu bahwa bahkan seratus atau seribu Māra pun tidak akan mampu menggoyahkan tekadku. Hari ini, akan kulihat siapa yang lebih kuat: aku atau Māra.”
Dengan tekad itu, Bodhisatta sendiri membawa mangkuk itu keluar dari rumah. Ia berdiri di tepi lubang yang dipenuhi bara api menyala, menengadah ke langit, dan melihat Māra di udara.
Ia berkata, “Siapa kamu?”
Māra menjawab, “Aku adalah Māra.”

Bodhisatta bertanya, “Apakah kamu yang menciptakan lubang penuh bara api menyala ini?”
“Benar, aku yang membuatnya,” jawab Māra.

“Apa tujuanmu?”
“Aku ingin menghentikanmu memberikan persembahan dan membinasakan Paccekabuddha itu.”

Bodhisatta berkata,
“Aku tidak akan membiarkanmu menghalangi pemberianku, dan aku juga tidak akan membiarkanmu menghancurkan Paccekabuddha. Hari ini, kita akan lihat siapa yang memiliki kekuatan lebih besar.”

Masih berdiri di tepi lubang, Bodhisatta berseru,
“Yang dihormati (Bhante) Paccekabuddha (yang agung), meskipun aku harus terjun ke dalam lubang penuh bara api yang membara ini, aku tidak akan mundur. Mohon terimalah makanan ini yang aku bawakan dengan rasa penuh hormat.”

Lalu ia mengucapkan syair:
“Walau harus jatuh ke neraka, dengan kepala di bawah dan kaki di atas,
Aku takkan melakukan perbuatan yang tak pantas***. Terimalah persembahan makanan ini.”

(Syair ini bermakna bahwa meskipun harus menghadapi penderitaan neraka, ia tidak akan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran para mulia (tidak melakukan kejahatan, menjunjung tinggi sila dan tidak akan takut terhadap mara), dan tetap akan memberi derma.)
Setelah berkata demikian, Bodhisatta memegang mangkuk makanan dan, dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan, melangkah maju ke arah lubang penuh bara api.

Namun, pada saat ia hendak melangkah ke dalamnya, dari dasar lubang itu muncullah bunga teratai yang luar biasa besar, berdaun seratus kelopak, menopang langkah kakinya. Kelopak-kelopaknya menebarkan serbuk sari emas yang jatuh lembut ke tubuh Bodhisatta, membuatnya tampak berkilauan seperti ditaburi emas, dari kepala hingga ujung kaki.

Berdiri di atas bunga itu, Bodhisatta mempersembahkan makanan ke dalam mangkuk Paccekabuddha. Setelah menerima persembahan itu dan mengucapkan anumodana, Paccekabuddha melemparkan mangkuknya ke udara, dan—di hadapan kerumunan orang—ia pun melayang naik ke langit, menembus awan bagai kilat, dan kembali ke pegunungan Himalaya.

Melihat kegagalannya, Māra yang jahat pun terdiam, dikalahkan, dan kembali ke kediamannya dengan hati penuh kekesalan.
Sementara itu, Bodhisatta berdiri di atas bunga teratai dan membabarkan Dhamma kepada semua yang hadir, mengajarkan tentang kebajikan dan kemurahan hati. Setelah selesai, ia kembali ke rumahnya, menjalani hidup dengan penuh kebajikan dan berdana, hingga pada akhirnya meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang penuh kebahagiaan, sesuai dengan karma baik yang telah ia tanam.
Penutup oleh Sang Buddha:

Setelah menceritakan kisah ini, Sang Buddha berkata:
“Bukan hal yang mengejutkan, wahai kepala rumah tangga, bahwa engkau hari ini tidak goyah oleh gangguan dari makhluk halus. Dahulu pun, ketika menjadi manusia biasa, orang bijaksana tidak gentar oleh Māra.”
Setelah menyambungkan cerita ini dengan kejadian sekarang, Beliau berkata:
“Paccekabuddha saat itu telah parinibbāna di sana juga. Kepala kota Bārāṇasī yang memberi derma kepada Paccekabuddha adalah Aku sendiri.”

Source「经源」:
Tipiṭaka : Suttapiṭaka: Khuddakanikāya : Jātaka-Aṭṭhakathā-1: 1. Ekakanipāto: 10. Khadiraṅgārajātaka
三藏:经藏:小部经典:本生经注释(一):一、本品:十、刺槐木王本生譬喻经

Click this for the slide

No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa