(Khadiraṅgāra Jātaka)
Pada saat itu, Anāthapiṇḍika berbicara di hadapan Sang Guru (Buddha) mengenai kualitas dirinya sendiri: “Bhante, meskipun makhluk dewa ini melarang saya untuk mengunjungi Buddha dan melakukan perbuatan-perbuatan bajik lainnya, ia tetap tidak mampu menghentikan saya. Meskipun saya dilarang untuk memberikan dana, saya tetap memberikannya. Barangkali ini, Bhante, adalah kualitas kebaikan saya.”
Sang Buddha berkata: “Engkau, wahai kepala keluarga, adalah seorang sotāpanna, seorang siswa mulia, memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan, dan memiliki pandangan yang murni. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bahwa makhluk dewa yang kurang berpengaruh ini tidak dapat menghentikanmu. Namun, yang benar-benar mengagumkan adalah bahwa pada masa lampau, bahkan ketika Buddha belum muncul, dan para makhluk bijaksana masih berada dalam pengetahuan yang belum matang, mereka tetap tidak tergoyahkan oleh Māra, penguasa alam indria, yang berdiri di angkasa dan berkata, ‘Jika kamu memberikan dana, kamu akan lahir di neraka ini,’ sambil memperlihatkan lubang arang yang dalamnya delapan puluh hasta. Walaupun mereka diancam demikian dan diperingatkan untuk tidak memberikan dana, mereka tetap memberikan persembahan dengan berdiri di tengah-tengah bunga teratai. Inilah yang sungguh luar biasa.” Setelah berkata demikian, atas permintaan Anāthapiṇḍika, Sang Buddha menceritakan kisah masa lampau.
Pada masa lampau, ketika Raja Brahmadatta memerintah di Bārāṇasī, Bodhisatta terlahir dalam keluarga seorang bendahara (seṭṭhi) di kota Bārāṇasī. Ia dibesarkan bagaikan seorang putra dewa, dengan segala jenis kemewahan dan kenikmatan. Seiring waktu, ketika mencapai usia kedewasaan, pada usia enam belas tahun ia telah mencapai kepandaian dalam semua keterampilan.
Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan posisi sebagai bendahara, lalu membangun empat balai derma di keempat gerbang kota, satu di tengah kota, dan satu di depan rumahnya sendiri—jadi total enam balai derma. Di sana ia memberikan derma besar (mahādāna), menjaga sila (moralitas), dan melaksanakan praktik uposatha (hari suci untuk latihan spiritual).
Pada suatu hari, saat waktu makan pagi, ketika makanan lezat dan berbagai hidangan istimewa disajikan kepada Bodhisatta, seorang Paccekabuddha yang telah keluar dari meditasi (nirodha-samāpatti) selama tujuh hari memperkirakan bahwa sekarang adalah waktunya untuk pergi berkeliling menerima dana makanan, dan berpikir, “Hari ini aku sebaiknya pergi ke pintu rumah kepala kota Bārāṇasī.” Maka ia mengunyah sepotong kayu siwak (tanaman sirih hutan) dari pohon Nāga dan mencuci mulutnya di danau Anotatta (artinya: Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta). Kemudian, ia mengenakan jubah bawah (antaravāsaka) sambil berdiri di atas batu putih yang bersih, mengikatkan sabuk, mengenakan jubah atas (uttarāsaṅga), dan mengambil patta-nya (mangkuk derma). Dengan kekuatan pencapaian batin (iddhi), ia terbang melalui udara dan tiba tepat di gerbang rumah tempat Bodhisatta tinggal, bersamaan dengan saat hidangan sarapan sedang dipersiapkan untuk Bodhisatta.
Ketika Bodhisatta melihat Paccekabuddha dari kejauhan, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan memandang ke arah pelayannya sebagai isyarat bahwa suatu pelayanan diperlukan. Melihat isyarat itu, pelayannya berkata, “Tuanku, apa yang harus saya lakukan?” Bodhisatta menjawab, “Ambillah mangkuk (patta) dari Bhikkhu Agung itu.”
Pada saat yang sama, Māra si Jahat, menyadari situasi itu, menjadi gelisah dan berpikir dalam hati: “Hari ini adalah hari ketujuh sejak Paccekabuddha ini terakhir kali menerima makanan dana. Jika ia tidak mendapat makanan hari ini, ia akan mati. Aku akan menghancurkannya dan mencegah saudagar besar ini (Bodhisatta) memberikan derma.”
Dengan niat jahat itu, Māra menciptakan sebuah lubang sedalam delapan puluh hasta, yang penuh dengan bara api merah menyala dari kayu Khadira, tampak seperti Neraka Avīci itu sendiri. Lubang ini terbentang di antara rumah Bodhisatta dan tempat berdirinya Paccekabuddha. Setelah menciptakan rintangan yang mengerikan itu, Māra sendiri berdiri melayang di udara, menyaksikan upaya untuk menghalangi pemberian dana tersebut.
Ketika pelayan yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu melihat api besar, mereka terkejut dan segera mundur.
“Apa yang membuatmu kembali lagi?” tanya Bodhisatta.
Pelayan itu menjawab, “Tuanku, ada lubang besar penuh dengan bara api merah menyala yang membakar di jalan.”
Bodhisatta lalu menyuruh pelayan kedua dan ketiga, tetapi mereka pun kembali karena takut akan api.
No comments:
Post a Comment