Sunday, September 1, 2024

Sundari Sutta

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan merupakan orang yang terpenuhi kebutuhan hidup Nya (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan). Dan bhikkhu sangha juga dihormati …..


Tetapi para pertapa kelana aliran lain tidak dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan mereka tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya akan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Kemudian para pertapa kelana aliran lain itu, karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditunjukkan banyak orang terhadap Sang Bhagava dan bhikkhu sangha, mendekati Sundari si pertapa kelana wanita dan berkata, 


“Saudari, maukah anda melakukan sesuatu yang berguna bagi kerabatmu?”

“Apa yang dapat saya lakukan, tuan-tuan? Apa yang dapat saya lakukan? Saya akan mengorbankan bahkan hidup saya demi kerabat-kerabat saya.”

“Kalau demikian, saudari, seringlah pergi ke Hutan Jeta.”

“Baiklah, tuan-tuan,” 


Sundari si pertapa kelana wanita itu menjawab, dan dia sering pergi ke Hutan Jeta. Kemudian, ketika para pertapa kelana itu mengetahui bahwa Sundari si pertapa kelana wanita telah dilihat banyak orang sering pergi ke Hutan Jeta, mereka membunuhnya dan menguburnya di sana, di sebuah lubang yang digali di parit Hutan Jeta. Kemudian mereka pergi ke Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata, 


“Raja yang Agung, Sundari si pertapa kelana wanita tidak dapat ditemukan.”

“Kamu curiga dia berada di mana?”

“Di Hutan Jeta, Paduka Raja.”

“Kalau begitu, periksa Hutan Jeta.”


Waktu memeriksa Hutan Jeta para pertapa kelana itu menggali mayat Sundari dari lubang di parit tempat dia dikuburkan, dan meletakkannya di tandu, dan membawanya ke Savatthi. Waktu berjalan dari jalan ke jalan dan dari perempatan ke perempatan, mereka menimbulkan kemarahan orang-orang dengan mengatakan: 


“Lihatlah, tuan-tuan, pekerjaan para pengikut putra Sakya. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, adalah orang yang tidak tahu malu, tidak bermoral, tidak baik kelakuannya, pembohong, bukan penganut kehidupan suci. 


Mereka menyatakan bahwa mereka hidup dengan Dhamma, bahwa mereka menjalani kehidupan yang seimbang, bahwa mereka menjalani kehidupan suci, bahwa mereka adalah pembicara-pembicara kebenaran, bahwa mereka saleh dan berkelakuan baik, tetapi mereka tidak pantas sebagai pertapa, mereka tidak pantas sebagai brahmana; status pertapa mereka rusak, status brahmana mereka rusak. 


Dimana status pertapa mereka? Dimana status brahmana mereka? Mereka telah kehilangan status pertapa mereka, mereka telah kehilangan status brahmana mereka. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”


Karena ini, ketika orang-orang melihat para bhikkhu di Savatthi, 

mereka mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan dan kata-kata kasar: 


“Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak punya malu, tidak bermoral, berkelakuan buruk ….. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”


Kemudian sejumlah bhikkhu, setelah mengenakan jubah sebelum siang hari dan mengambil mangkuk serta jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan makanan dan kembali; setelah bersantap, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Saat ini, Bhante, bila orang-orang melihat bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut, dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar…..”


“Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Ini akan berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu akan lenyap. Jadi, O, bhikkhu, bila orang-orang mencerca para bhikkhu, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar, kamu harus menanggapi dengan syair ini:

Penuduh salah pergi ke neraka,
Dan juga ia yang menyangkal perbuatan yang telah ia lakukan,
Keduanya ini menjadi sama di sana,
Manusia yang perbuatannya tidak terhormat akan berada di alam sana.


Maka para bhikkhu itu mempelajari syair ini di hadapan Sang Bhagava, dan ketika orang-orang itu, waktu melihat para bhikkhu, mencerca mereka, mereka menanggapi dengan syair itu.


Kemudian orang-orang itu berpikir: 

“Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak melakukannya; itu tidak dilakukan oleh mereka. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, sedang menegaskan (ketidak-salahan mereka).” 

Dan kegemparan itu berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu, lenyap.


Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bagus sekali, Bhante! Luar biasa! Alangkah bagusnya hal ini diramalkan Sang Bhagava: ‘Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Setelah tujuh hari akan lenyap.’ Bhante, kegemparan itu telah lenyap.”


Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:


Bersabarlah oh para siswa,

manakala mendengar ucapan kasar yang menusuk hati,

diutarakan oleh orang-orang yang tidak menunjung tinggi kebajikan dan keluhuran,

jangan biarkan niat jahat ataupun amarah (kemurkaan) merajalela didalam batin,

bagaikan pasukan gajah perang

yang menahan dan meruntuhkan hujan anak panah."




Source:
tipiṭaka, suttapiṭaka, khuddakanikāya, udānapāḷi, 4. meghiyavaggo, 8. sundarīsuttaṃ.
तिपिटक, सुत्तपिटक, खुद्दकनिकाय, उदानपाळि, ४। मेघियवग्गो, ८। सुन्दरीसुत्तं।
大藏经, 经藏, 小部经典, 自说部, 第四篇 梅希耶篇, 第八经 美丽经



8. Sundarīsuttaṃ

38. Evaṃ me sutaṃ – ekaṃ samayaṃ bhagavā sāvatthiyaṃ viharati jetavane anāthapiṇḍikassa ārāme. Tena kho pana samayena bhagavā sakkato hoti garukato mānito pūjito apacito lābhī cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ . Bhikkhusaṅghopi sakkato hoti garukato mānito pūjito apacito lābhī cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ. Aññatitthiyā pana paribbājakā asakkatā honti agarukatā amānitā apūjitā anapacitā na lābhino cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ.

Atha kho te aññatitthiyā paribbājakā bhagavato sakkāraṃ asahamānā bhikkhusaṅghassa ca yena sundarī paribbājikā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā sundariṃ paribbājikaṃ etadavocuṃ – ‘‘ussahasi tvaṃ, bhagini, ñātīnaṃ atthaṃ kātu’’nti? ‘‘Kyāhaṃ, ayyā, karomi? Kiṃ mayā na sakkā [kiṃ mayā sakkā (syā. pī.)] kātuṃ? Jīvitampi me pariccattaṃ ñātīnaṃ atthāyā’’ti.

‘‘Tena hi, bhagini, abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ gacchāhī’’ti. ‘‘Evaṃ, ayyā’’ti kho sundarī paribbājikā tesaṃ aññatitthiyānaṃ paribbājakānaṃ paṭissutvā abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ agamāsi.

Yadā te aññiṃsu aññatitthiyā paribbājakā – ‘‘vodiṭṭhā kho sundarī paribbājikā bahujanena abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ gacchatī’’ti [gacchatīti (sī. syā. kaṃ. pī.)]. Atha naṃ jīvitā voropetvā tattheva jetavanassa parikhākūpe nikkhipitvā [nikhanitvā (sī. syā. pī.)] yena rājā pasenadi kosalo tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā rājānaṃ pasenadiṃ kosalaṃ etadavocuṃ – ‘‘yā sā, mahārāja, sundarī paribbājikā; sā no na dissatī’’ti. ‘‘Kattha pana tumhe āsaṅkathā’’ti ? ‘‘Jetavane, mahārājā’’ti. ‘‘Tena hi jetavanaṃ vicinathā’’ti.

Atha kho te aññatitthiyā paribbājakā jetavanaṃ vicinitvā yathānikkhittaṃ parikhākūpā uddharitvā mañcakaṃ āropetvā sāvatthiṃ pavesetvā rathiyāya rathiyaṃ siṅghāṭakena siṅghāṭakaṃ upasaṅkamitvā manusse ujjhāpesuṃ –

‘‘Passathāyyā samaṇānaṃ sakyaputtiyānaṃ kammaṃ! Alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino. Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti! Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’ti!

Tena kho pana samayena sāvatthiyaṃ manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti –

‘‘Alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino . Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti! Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’ti!

Atha kho sambahulā bhikkhū pubbaṇhasamayaṃ nivāsetvā pattacīvaramādāya sāvatthiṃ piṇḍāya pāvisiṃsu. Sāvatthiyaṃ piṇḍāya caritvā pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkantā yena bhagavā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu. Ekamantaṃ nisinnā kho te bhikkhū bhagavantaṃ etadavocuṃ –

‘‘Etarahi, bhante, sāvatthiyaṃ manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti – ‘alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino. Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti. Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’’ti!

‘‘Neso, bhikkhave, saddo ciraṃ bhavissati sattāhameva bhavissati. Sattāhassa accayena antaradhāyissati. Tena hi, bhikkhave, ye manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti, te tumhe imāya gāthāya paṭicodetha –

‘‘‘Abhūtavādī nirayaṃ upeti,

Yo vāpi [yo cāpi (sī. pī. ka.)] katvā na karomi cāha;

Ubhopi te pecca samā bhavanti,

Nihīnakammā manujā paratthā’’’ti.

Atha kho te bhikkhū bhagavato santike imaṃ gāthaṃ pariyāpuṇitvā ye manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti te imāya gāthāya paṭicodenti –

‘‘Abhūtavādī nirayaṃ upeti,

Yo vāpi katvā na karomicāha;

Ubhopi te pecca samā bhavanti,

Nihīnakammā manujā paratthā’’ti.

Manussānaṃ etadahosi – ‘‘akārakā ime samaṇā sakyaputtiyā. Nayimehi kataṃ. Sapantime samaṇā sakyaputtiyā’’ti. Neva so saddo ciraṃ ahosi. Sattāhameva ahosi. Sattāhassa accayena antaradhāyi.

Atha kho sambahulā bhikkhū yena bhagavā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu. Ekamantaṃ nisinnā kho te bhikkhū bhagavato etadavocuṃ –

‘‘Acchariyaṃ, bhante, abbhutaṃ, bhante! Yāva subhāsitaṃ cidaṃ bhante bhagavatā – ‘neso, bhikkhave, saddo ciraṃ bhavissati. Sattāhameva bhavissati. Sattāhassa accayena antaradhāyissatī’ti. Antarahito so, bhante, saddo’’ti.

Atha kho bhagavā etamatthaṃ viditvā tāyaṃ velāyaṃ imaṃ udānaṃ udānesi –

‘‘Tudanti vācāya janā asaññatā,

Sarehi saṅgāmagataṃva kuñjaraṃ;

Sutvāna vākyaṃ pharusaṃ udīritaṃ,

Adhivāsaye bhikkhu aduṭṭhacitto’’ti. aṭṭhamaṃ;

No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa