Sunday, August 10, 2025

Sumana Sāmaṇera

12. Sumanasāmaṇera

Setelah meminta izin kepada ibunya, ia (Anuruddha Thera) bersama dengan lima bangsawan Sakiya, dipimpin oleh Bhaddiya, pergi meninggalkan keduniawian, mendatangi Sang Guru di hutan Anupiya, lalu ditahbiskan sebagai bhikkhu. Setelah ditahbiskan, ia menempuh Jalan Lurus, dan secara bertahap merealisasi tiga pengetahuan agung (tevijjā). Dengan mata dewa (dibbacakkhu), ia dapat, sambil duduk di satu tempat saja, melihat ribuan sistem dunia, sejelas melihat buah amalaki yang diletakkan di telapak tangan. Ia kemudian melafalkan syair kegembiraan: 

 “Aku mengetahui kehidupan lampau, 

Mata dewa telah dimurnikan, 

Aku mencapai tiga pengetahuan, 

memiliki kekuatan batin, 

Ajaran Buddha telah kutunaikan.” 

(Theragāthā 332, 562) 


 Setelah mengucapkan seruan kegembiraan itu, ia merenung: “Perbuatan apa yang telah kulakukan sehingga memperoleh pencapaian agung ini?” Dengan pengamatan batinnya, ia mengetahui: “Di hadapan Buddha Padumuttara aku pernah menanam tekad.” Kemudian ia melihat kembali: “Dalam lingkaran samsara, pada suatu masa di kota Bārāṇasī, aku pernah hidup bergantung pada saudagar Sumanasetthi, sebagai seorang miskin bernama Annabhāra (Pembawa makanan).” Maka ia bersyair: 

 “Dulu aku Annabhāra, Orang miskin pengumpul rumput; 

Sebuah sedekah makanan kuberikan Kepada Paccekabuddha Upariṭṭha yang luhur.”


Pada suatu hari, seorang Paccekabuddha bernama Upariṭṭha yang tinggal di Gandhamādana, bangkit dari pencapaian nirodhasamāpatti. Ia berpikir: ‘Siapa yang patut kuberi bantuan hari ini?’ Lalu ia mengetahui: ‘Hari ini tepat bila aku memberi kesempatan kebajikan kepada Annabhāra. Sekarang ia sedang mengambil rumput dari hutan dan akan segera kembali ke rumah.’ Maka ia mengambil mangkuk dan jubahnya, lalu dengan kekuatan iddhi (kesaktian batin) ia berdiri di hadapan Annabhāra.


Annabhāra melihat beliau berdiri dengan mangkuk kosong di tangan, lalu bertanya: ‘Bhante, apakah Anda sudah mendapatkan makanan?’ Paccekabuddha menjawab: ‘Akan mendapatkannya, orang yang penuh jasa.’ Annabhāra berkata: ‘Kalau begitu, Bhante, harap tunggu sebentar.’ Ia meletakkan rumput yang dipikulnya, lalu dengan cepat pulang ke rumah.



Sesampainya di rumah, ia bertanya kepada istrinya: ‘Istriku, apakah masih ada makanan yang disisihkan untukku, atau tidak?’ Istrinya menjawab: ‘Ada, suamiku.’ Segera ia kembali lagi dengan cepat, lalu mengambil mangkuk Paccekabuddha. Ia berkata: ‘Ketika aku ingin memberi, sering kali tidak ada sesuatu untuk diberikan. Bila ada yang bisa diberikan, aku tidak menemukan penerimanya. Tetapi hari ini, aku melihat penerimanya dan juga ada yang dapat diberikan. Sungguh beruntunglah aku!’ Ia pergi ke rumah, menyuruh istrinya memasukkan makanan ke dalam mangkuk itu, lalu mengembalikannya dan meletakkannya di tangan Paccekabuddha.


“Kemudian ia membuat aspirasinya: 

Dengan pemberian ini, semoga kemiskinan tidak menimpa diriku. Semoga kata-kata “tidak ada” tidak pernah terdengar dalam kehidupanku yang akan datang. Bhante, semoga aku terbebas dari kesulitan hidup seperti ini, dan semoga aku tidak pernah mendengar kata “tidak ada” di masa-masa mendatang.


Note: 

"Tidak ada": kesusahan karena kemiskinan, uang tidak ada, makanan tidak ada, dan serba tidak ada

Tidak ada” di sini memiliki simbol penderitaan kemiskinan.
Dengan aspirasinya, Annabhāra memohon supaya ia:

tidak mengalami kemiskinan lagi,

tidak perlu mengucapkan kata “tidak ada” setiap kali orang meminta sesuatu darinya,

selalu memiliki cukup untuk berbagi.


Paccekabuddha itu berkata: ‘Demikianlah hendaknya terjadi, orang yang penuh jasa,’ kemudian beliau memberikan anumodanā (berkah balasan), lalu pergi.


Ketika itu, dewa pelindung di atas payung Sumanaseṭṭhi berseru,
“Wah, sungguh pemberian yang agung, sungguh mulia, persembahan ini tertuju dengan baik kepada Paccekabuddha Upariṭṭha!”
Ia berseru sādhukāra tiga kali (pujian, “sādhu, sādhu, sādhu!”).

Lalu Sumanaseṭṭhi (pedagang kaya itu) berkata kepada dewa itu:
“Kenapa engkau tidak pernah memberi seruan sādhu ketika selama ini aku senantiasa memberi dana?”


Dewa itu menjawab:
“Aku tidak mengucapkan sādhu karena pemberianmu, tetapi karena aku merasa gembira terhadap sedekah nasi yang diberikan oleh Annabhāra kepada Paccekabuddha Upariṭṭha. Maka aku berseru sādhu.”


Mendengar itu, Sumanaseṭṭhi merenung:
“Sungguh mengherankan! Selama ini aku memberi dana terus-menerus, namun tidak mampu membuat dewa mengucap sādhu. Tetapi Annabhāra, yang hanya hidup bergantung padaku, dengan satu sendok nasi saja bisa membuat dewa mengucap sādhu! Baiklah, aku akan menghargai pemberian itu, dan menjadikan persembahan nasi itu sebagai milikku.”


Lalu ia memanggil Annabhāra dan bertanya:
“Hari ini engkau memberikan sesuatu kepada seseorang?”

“Ya, tuan, hari ini saya memberikan nasi jatah saya kepada Paccekabuddha Upariṭṭha.”

“Kalau begitu, bawalah persembahan itu kepadaku bersama dengan uang. Ambillah kahāpaṇa (koin perak), dan serahkan persembahan itu kepadaku.”


Tetapi Annabhāra berkata:
“Tidak, tuan, saya tidak akan memberikannya.”

Sumanaseṭṭhi menawar hingga seribu kahāpaṇa, tetapi Annabhāra tetap tidak memberikannya.


Akhirnya Sumanaseṭṭhi berkata:
“Kalau begitu, baiklah, meski engkau tidak memberikan persembahan itu kepadaku, setidaknya ambillah seribu kahāpaṇa ini, dan berikan patti (jasa atau kebajikan hasil dari pemberian itu) kepadaku.”


Annabhāra menjawab:
“Saya akan tanyakan dahulu kepada Tuan Guru (Paccekabuddha).”


Dengan segera ia pergi menemui Paccekabuddha, lalu bertanya:
“Bhante, Sumanaseṭṭhi memberikan seribu kahāpaṇa dan meminta bagian jasa dari piṇḍapāta yang saya berikan kepada Anda. Apa yang harus saya lakukan?”


Paccekabuddha Upariṭṭha memberikan perumpamaan:

"Wahai pandita, seumpama dalam sebuah desa seratus keluarga, di satu rumah dinyalakan lampu. Kemudian orang-orang lain datang dengan minyaknya sendiri, membasahi sumbu, dan menyalakan api dari lampu itu. Maka tidak dapat dikatakan bahwa cahaya lampu pertama berkurang—bahkan justru bertambah."


Begitu pula dengan dana: apakah itu hanya semangkuk bubur atau sesendok makanan, bila seseorang memberi patti (pelimpahan jasa) dari persembahannya, maka kebajikan yang ia berikan justru bertambah.


"Kamu (Annabhāra) hanya memberi satu porsi makanan, tetapi karena dipersembahkan dengan pelimpahan jasa kepada seṭṭhi, maka buahnya menjadi dua: satu milikmu, satu miliknya."

Mendengar itu, Annabhāra pun berkata "Sādhu, bhante" dan pergi kembali ke seṭṭhi. Ia menyampaikan bahwa patti (pelimpahan jasa) diberikan.


Seṭṭhi berkata: "Kalau begitu, terimalah seribu kahāpaṇa (uang logam). Aku tidak sedang membeli makananmu; melainkan sebagai tanda hormat pada keyakinanmu, aku memberimu ini. Mulai sekarang, jangan lagi bekerja kasar dengan tanganmu. Buatlah rumah di jalan, dan hiduplah di sana. Apa pun yang kamu perlukan, ambillah dari saya."


Demikianlah, makanan yang diberikan kepada seorang Paccekabuddha yang baru bangkit dari pencapaian nirodha menghasilkan buah (vipāka) pada hari itu juga.


Raja mendengar kisah ini, memanggil Annabhāra, menerima pelimpahan jasa darinya, lalu menghadiahkan harta yang sangat besar, dan mengangkatnya ke kedudukan seorang seṭṭhi (hartawan utama).


 Inti makna:

1. Pelimpahan jasa (patti) tidak mengurangi pahala pemberi utama, malah membuat pahala itu berlipat ganda.

2. Dana kepada Paccekabuddha langsung berbuah cepat.

3. Annabhāra yang miskin menjadi hartawan terkemuka karena satu persembahan makanan, berkat keyakinan dan aspirasi tulusnya.




Source「经源」:

Tipiṭaka: Suttapiṭaka: Khuddakanikāya: Dhammapada: 25. Bhikkhuvaggo: 12. Sumanasāmaṇera

三藏 · 经藏 · 小部 · 《法句经》 · 第25品《比丘品》 · 第12偈:须摩那沙弥


No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa