Saturday, March 18, 2023

Makhluk-makhluk yang Mengaku-ngaku

Di kalangan umat tertentu gak sedikit yang kalau ada masalah, suka pergi ke tempat-tempat yang istilahnya disebut tatung atau tempat tempat dukun untuk memperoleh solusi. Makhluk-makhluk tersebut mengklaim kalau mereka ini atau itu (menyebut nama nama junjungan agung tertentu atau bergaya seperti makhluk tertentu dan mengklaim ia adalah ini dan itu). Seperti apa yang pernah disampaikan juga oleh bhante Uttamo mengenai orang yang kesurupan sungokong. Lah Sungokong itu adalah tokoh yang dikarang oleh penulis buku 西游记 (journey to the west), figur sungokong adalah fiktif atau tidak nyata alias karangan saja pada novel tersebut. Jadi kalau ia mengaku ia adalah sungokong berarti jelas makhluk tersebut berb_ _ ong. Ada yang mengklaim sebagai dewi ini atau dewi itu, dan sebagainya.

Umat Buddha, anda harus berpikir dengan jernih. Kita di dalam agama Buddha telah belajar mengenai alam-alam beserta makhluk makhluk penghuninya seperti apa? minimal kita diberitahukan didalam Dhamma akan jenis jenis dan perangainya. 


Penujuman dan meramal (fortune telling)

Di dalam agama Buddha, para bhikkhu dan bhikkhuni tidak diperkenankan untuk melaksanakan praktek penujuman atau meramal, dan hal itu dicatat didalam vinaya (peraturan para biarawan Buddhis). Selain itu, pada samaññaphala sutta, Lord Buddha bersabda:


‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir setan dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’


Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan beras untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa-dewa, mempersembahkan biji wijen dengan cara menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat pada buku jari, setelah itu mengucapkan mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak menasehati cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kalajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’


Source「經源」:
तिपिटक - सुत्तपिटक - दीघनिकाय - सीलक्खन्धवग्ग - ४. सोणदण्डसुत्तं
Tipiṭaka - Suttapiṭaka - Dīghanikāya - Sīlakkhandhavagga - 4. soṇadaṇḍasuttaṃ
三藏經 - 經藏 - 長部 - 戒蘊品 - 4.種德經 


Bhūta (Makhluk halus) yang mengklaim dirinya sebagai makluk pujaan

Tak sedikit orang yang sudah mengatakan hal ini kalau "makhluk dari alam rendah itu suka berbohong" dengan beragam cara bahasa penyampaian yang berbeda namun initinya adalah makhluk jenis itu suka berbohong.

Kita tau dikalangan umat tertentu, masih mengaku-ngaku sebagai umat Buddha namun masih juga berasosiasi atau berkunjung ke dukun. Yang mana pada saat ritual, dukunnya kesurupan. Setelah memasuki tubuh manusia, ia mulai mengklaim dirinya oh ini aku dewi atau dewa itu, atau yang lebih hebat lagi ngaku ngaku buddha. Pernah satu kali ada indigo yang sedang lewat, kemudia ada orang yang sedang kesurupan dan ia ngaku-ngaku sebagai ini itu, trus indigo itu secara alami memang sudah melihat dan tahu siapakah yang berbicara itu, langsung serentak saja indigo muda itu bilang "bohong!" secara tiba-tiba si setan itu kaget dan melihat ke arah indigo muda itu dan mengejarnya, karena isin (malu) ketauan, dan terlanjur ngaku-ngaku. 

Para bhante sudah menegaskan di vihara dan sudah memberitahu, di kitab Tipitaka sudah menjelaskan, bahwa para dewa itu makhluk surga, MEREKA YANG TERLAHIR DI ALAM SURGA TIDAK MEMBUTUHKAN SESAJENAN, baik itu berupa dupa, kemenyan, apalagi makanan manusia. Bagi yang melihat hal ada umat yang mempersembahkan makanan kepada dewa dewi, sebab di alam surga sudah terpenuhi segalanya, dan makanan surgawi lebih cocok buat para dewa dan dewi. YANG SESUNGGUHNYA MEMBUTUHKAN MAKANAN ADALAH MAKLUK PETA KELAPARAN, bukan para dewa atau dewi.

Tercatat di kitab Tipitaka sendiri, bahwa pernah suatu waktu di jaman dahulu di India, ada pertapa yang mempersembahkan persembahan kepada Brahma (Brahma itu bukan dewa tapi ia makluk dari surga diatas alam alam surga dewa, mereka yang bercahaya ke-emas-an, yang batinnya murni, tak ternodai oleh nafsu, kejahatan, kebencian, kedengkian dan keserakahan tidak berdaya dihadapanNya. Yang penuh kasih sayang, altruistik dan berperangai tenang, damai dan sejuk hatinya). kemudian, karena welas asih Nya, beliau menggemakan suara surgawinya yang nyaman tertuju kepada pertapa yang berbudi ini, "oh pertapa, persembahan-persembahan ini tidak berguna bagi kami yang berada di surga....", sehingga si pertapa akhirnya memahami dan tersadarkan (oh ya yah! di surga mah mana perlu persembahan, mereka sudah tercukupi kebutuhannya) dan tidak pernah melakukan nya lagi. Yang membutuhkan persembahan ada makluk hantu gentayangan (jenis Paradattupajivika Peta). Makhluk lainnya tidak bisa menerima persembahan jasa apapun dari kita.

Dan Bhante di vihara juga sudah menjelaskan kepada umat, bahwa dari jarak radius yang cukup jauh, pada dewata di alam surga, tidak ingin mendekat manusia, sebab bagi yang di surga, bebauan (odor) manusia tidak nyaman buat mereka, jadi jarang dari mereka yang berdekatan dengan manusia, APALAGI SAMPAI MEMASUKI TUBUH MANUSIA DAN MEMINTA UNTUK DISEMBAH-SEMBAH ATAU DI SANJUNG-SANJUNG. Itu bukan dewata! Namun makhluk dari alam rendah. Bukan dari alam surga. Sebab yang di surga sana dipenuhi rasa syukur dan hidupnya tercukupi segalanya. 

Selain itu, seperti yang ada indigo pernah ungkapkan juga bahwa makhluk dari alam rendah suka berbohong dan nyamar-nyamar (mengaku-ngaku sebagai; atau nyaruh menjadi sesuatu).

Maka dari itu, bagi yang seneng mengunjungi para dukun, tatung, terserah deh sebutannya apa juga, kita harus ingat bahwa para dewata di alam surga tidak pernah merasuki badan manusia dan berakting nari-nari, para dewata juga tidak meminta tumbal, tidak meminta jiwa atau hidup orang sebagai gantinya, dan tidak meminta kurban dan darah. Mulai sekarang, pakailah akal sehatnya, dan baca lebih lanjut kitab suci Tipitaka agar kembali ke jalan. yang benar, lebih mendalami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma.

para pengunjung tempat dukun sudah pasti memiliki kepentingan masing-masing pada saat berkunjung, ada yang maksudnya adalah ia ingin menindas atau mengerjai atau mengelabui orang, trus datang ke sana ngomong baik baik dan manis tanpa pernah mengungkapkan boroknya sendiri saat konsultasi dengan jin atau makhluk peta yang merasuki badan manusia tersebut. Dan karena yang merasuki adalah kaum jin atau pun juga peta, maka yah sudah klop lah, segala sanjungan dan duit diterima, akhirnya ok boleh saya bantu. klop bukan? akhirnya mungkin saja yang sesungguhnya tidak bersalah jadi kena korban. 

Dan jangan juga anda berpikir kok itu dukun yang bisa melihat ini itu dari jarak kejauhan, namun yang didepan mata gak bisa dilihat hatinya? Mungkin juga karena memiliki watak jelek yang sama.


Segala Ritual Tatung Bukanlah Agama Buddha

Istilah tatung itu adalah istilah yang digunakan oleh orang Tionghoa kalimantan, khususnya bagi suku Hakka. Dan ini bukanlah agama Buddha. Pelafalan kata "tatung" berasal dari bahasa Hakka (客家話 khe wei), yang sebenarnya tenar di kaun Kantonese - Hongkong dengan hurufnya "神打"(Orang Singkawang, Kalimantan melafalnya dengan penyesuaian bahasa Hakka - Indonesia dari Singkawang, dibaca menjadi 打童 - da thung), sedangkan mediumnya disebut 乩童:

乩童 Jī tóng = shaman(被靈魂附身的靈媒 = a psychic who is possessed by a spirit;Cantonese 粤语 is 乩童 Kei Thong / Kei Thung;Hokkienese is called 乩 tang-ki)

Artinya adalah orang yang kerasukan makluk peta (atau jin), yang di junjung oleh kaum lokal sebagai dewa, padahal itu bukan lah dewa. Memang istilah dewa ini agak rancu bagi orang Tionghoa, orang China tidak jelas membedakan dewa dan adewa. Sedangkan di agama Buddha sudah jelas diungkapkan bahwa para dewa berada di surga, segala yang ada di surga, hidupnya sudah tercukupi. bahkan di surga terendah sekalipun, pakaian surgawinya sudah membuatnya sangat enak untuk di pandang, wajah makhluk-makhluk disana cerah. Pernah bhante Kamsai juga menjelaskan permasalahan ini, bahwa di alam surga yang terdekat dengan alam manusia, bahkan disana saja, tiada yang bisa menipu, sebab penipuan dan pencurian tidak berfungsi. segala tipu daya tidak berdaya, kehidupan mereka sudah tercukupi. Jadi apabila anda ke tempat tempat tertentu dan makhluk itu meminta tumbal atau kompensasi (seperti di pesugihan), cepet-cepet putar otak sadarkan diri itu bukan dari yang disurgawi, itu setan, bukan dewa. 

Kaum peta dan jin pandai menyaruh, suka mengaku-ngaku, dan berbohong. Sedangkan para dewa di alam surga tidak berbohong. Kita harus pandai disini agar jangan sampe anda-anda terjebak atau terjatuh dalam jebakan si jahat. 

Dan hal lain yang perlu umat Buddha ingat! Dikarenakan kemegahan surgawi yang ada di alam surga, maka kualitas kehidupan mereka pun lebih sejuk dan indah dibandingkan alam manusia, bahkan paras mereka pun cerah dan indah dipandang. Sehingga, apabila di ambil contoh perbandingan, mereka melihat manusia bagaikan manusia melihat kera, sebab bagi mereka yang berada disurga, aroma manusia bau bagi mereka. sama seperti manusia saat berdekatan dengan hewan (contohnya kambing atau sapi ataupun anjing, kecuali dimandiin dengan menggunakan sabun manusia, maka BAU ALAMI nya hilang dan menjadi seperti aroma yang familiar atau disukai manusia), manusia merasa makhluk hewan tersebut berbau yang tidak sedap. Sehingga di kitab pun memberikan makna yang tersirat bahwa para dewa tidak mendekati manusia dengan jarak radius yang cukup jauh lebih dari 20 meter. APALAGI SAMPAI MASUK KE DALAM TUBUH MANUSIA, wadaoo seperti orang yang kejebur kedalam selokan, sial bangat buat mereka. 

Dan terlebih lagi, yang lebih kurang ajar lagi, ada makhluk peta yang ngaku-ngaku sebagai bodhisatta, sebagai monkey king, sebagai Bodhisatta Kwan Yin. Dah, abaikan mereka. Tiada satu Bodhisatta pun yang memasuki tubuh manusia! dan yang kocak adalah Monkey King! Kisah monkey king atau kera sakti itu adalah kisah fiksi yang dibuat oleh penulis jaman dahulu kala di Tiongkok, yang ditulis menjadi sebuah novel. Jadi 孙悟空 (Sun Go Kong), 猪八戒 (Ti pat kai), dsb adalah tokoh buatan yang HANYA mengandung makna filosofis saja. 孙悟空 (Sun go kong, artinya adalah saya yang menyadari makna dari keabsolutan hukum alam atau sunyata atau makna terdalam dari kekosongan), 猪八戒 disebut ti pat kai itu arti harafiahnya adalah babi yang menjalankan moral etik kesucian, karena hawa nafsu nya yang harus diluruskan.  Jadi Tathung atau tangki atau aktivitas ritual tersebut 100% bukanlah ritual agama Buddha. Mau mereka menggunakan objek agama apapun atau ngaku-ngaku sebagai tokoh Buddhis, itu bukanlah Buddhisme, dan ini hanyalah budaya semata. Silakan cari di kitab Tipitaka atau Tripitaka, dibagian manakah di perintahkan oleh Guru Agung kita Hyang Buddha (Lord Buddha) untuk melakukan upacara tathung ini? Jadi poin utama yang kita harus pahami adalah ini bukanlah upacara atau ritual agama Buddha. Dan umat Buddha tidak dibenarkan untuk berkunjung ke dukun, atau tang-ki. (saya mengutip ungkapan Ayya Sagara) "Sebab kita tidak mengetahui ada perjanjian apa antara si tang-ki dengan makhluk (persekutuannya) tersebut. Jalankan dhamma dengan benar dalam kehidupan sehari-hari, maka kamu pasti selamat"  

Anak Indigo「靛藍小孩兒 - Diàn lán xiǎo háir

Tidak sedikit manusia yang terlahir sebagai anak indigo. Istilah indigo sendiri merupakan sebuah warna yang mirip dengan warna biru nila「靛藍 - indigo blue」. Dikarenakan warna aura dari pada anak indigo adalah berwarna nila atau indigo, maka dipakailah istilah ini. Anak-anak indigo berkarakteristik khusus, ia mengetahui dan melihat banyak hal yang mata jasmani manusia pada umumnya tidak bisa melihat, seperti melihat makhluk halus, dan mengetahui kalau ada bahaya datang kepadanya. Lalu bagaimana dengan dukun? apakah anak indigo sama dengan dukun? jawabannya jelas tidak! Sebab dukun belajar ilmu, sedangkan indigo memang sudah secara alami dan bersih memang memiliki kemampuan itu dari "sono" nya, bahkan sebelum lahirpun anak indigo sudah mengetahui apa yang akan dijalani dalam kehidupannya setelah dilahirkan. Sedangkan dukun adalah orang yang awalnya biasa biasa aja seperti manusia pada umumnya, tapi memiliki niat dan sengaja belajar untuk mencapai tarap kemampuan itu. Dan tidak gampang, dijaman sekarang banyak yang pakai bantuan makhluk makhluk dari alam rendah, yang bersekutu dengan nya agar mencapai taraf kemampuan tertentu dengan catatan ada PERJANJIAN yang kita gak tau apa dan bagaimana nantinya sesuai kesepakatan si manusianya dengan makhluk dari alam rendah tersebut.

Para pengikut dukun atau yang belajar ilmu kesaktian, ini yah manusia biasa, yang norak pada dasarnya, suka pamer dan suka ngenyoba-nyobain yang lain, jahil atau boleh kah dibilang sirik? penulis lebih senang menyebutnya manusia berjiwa najis (filthy soul,骯髒的靈魂), tak jarang para pengikut dukun yang doyan ngejahili para indigo. Tapi yah jelas lah, para indigo mengetahui dan melihat dengan jelas akan niat najis mereka. Dan banyak karakteristik yang bisa dibilang jauh bertolak belakang antara anak indigo dengan para pengikut dukun. Begitu dipental balik ilmu serangannya, kalah, ngadu ke dukun nya. Najis kan!? Yang mulai melakukan jahiliah terlebih dahulu siapa? begitu dibalikkan eh cengengesan.

Indigo juga manusia biasa seperti kita, apakah mereka masih bisa marah dan kecewa? iya, apakah mereka masih bisa sedih? iya, apakah mereka juga bisa gembira dan girang seperti kita pada umumnya? iya. dan lain sebagainya. Namun mereka tidak sama dengan kita dalam taraf pemahaman tujuan hidup, dan vision mereka melihat kehidupan jauh kedepan dibandingkan manusia umumnya. Setiap indigo memiliki goal yang berbeda beda, termasuk sadha yang bervariasi. ada yang berkeyakinan didalam Buddhisme, ada yang berkeyakinan di agama lain. Dalam hal ini, janganlah kita sebagai umat Buddha tidak boleh memusingi hal tersebut, sebab setiap agama tentunya mengajarkan kebaikan sesuai level nya masing-masing. Namun beruntung sekali bagi indigo yang beragama Buddha atau terlahir di keluarga Buddhis, yang mana bisa di bimbing melalui meditasi. Tentu saja harus di bimbing oleh Ācariya (आचरिय) (merujuk kepada Guru Relijius Meditasi dari anggota Sangha), kebanyakan dari Thai. 

Indigo Buddhis yang sudah kita kenal di Indonesia, Metta Surya, itu selalu mewejangkan kita seyogyanya "melatih diri agar jalan pikiran itu benar dan baik, ucapan benar dan baik, perilaku benar dan baik, meditasi mendukung dasar yang menunjang jalan tersebut. Pada akhirnya kita harus terjun ke masyarakat dan berlatih." saat ditanya oleh YouTube Channel Ngaji Roso.


















No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa