Monday, April 12, 2021

Dīghajāṇu Sutta

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya di dekat pemukiman Koliya bernama Kakkarapatta. Di sana pemuda Koliya Dīghajāṇu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:


“Bhante, kami adalah para umat awam yang menikmati kenikmatan-kenikmatan indria, menetap di rumah yang penuh dengan anak-anak. Kami menggunakan kayu cendana dari Kāsi; kami memakai kalung bunga, wewangian, dan salep; kami menerima emas dan perak. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepada kami dalam suatu cara yang dapat mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang.”


“Ada, Byagghapajja, empat hal ini yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan ini. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam inisiatif, kesempurnaan dalam perlindungan, pertemanan yang baik, dan kehidupan yang seimbang.


(1) “Dan apakah kesempurnaan dalam inisiatif? Di sini, cara apa pun yang dengannya seorang anggota keluarga mencari penghidupannya—apakah dengan bertani, berdagang, beternak, keterampilan memanah, pelayanan pemerintahan, atau keterampilan-keterampilan lainnya—ia terampil dan rajin; ia memiliki penilaian yang baik atasnya agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar. Ini disebut kesempurnaan dalam inisiatif.


(2) “Dan apakah kesempurnaan dalam perlindungan? Di sini, seorang anggota keluarga mendirikan perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia peroleh melalui inisiatif dan kegigihan, yang dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, yang diusahakan dengan keringat di dahinya, kekayaan yang benar yang diperoleh dengan benar, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah aku dapat mencegah raja-raja dan para pencuri merampasnya, api membakarnya, banjir menghanyutkannya, dan para pewaris yang tidak disukai mengambilnya?’ Ini disebut kesempurnaan dalam perlindungan.


(3) “Dan apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka—apakah yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan moralitas yang matang—yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh apa pun mereka sempurna dalam keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan keyakinan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan perilaku bermoral; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kedermawanan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kebijaksanaan. Ini disebut pertemanan yang baik.


(4) “Dan apakah kehidupan yang seimbang? Di sini, seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu berhemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ Bagaikan seorang petugas penimbang atau pembantunya, dengan memegang timbangan, mengetahui: ‘Dengan sebanyak ini timbangan akan turun, dengan sebanyak ini timbangan akan naik,’ demikian pula seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’


“Jika anggota keluarga ini memiliki pendapatan yang kecil namun hidup mewah, orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini memakan hartanya bagaikan pemakan buah ara.’ Tetapi jika ia memiliki pendapatan besar namun hidup hemat, orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini bahkan bisa kelaparan.’ Tetapi ini disebut kehidupan seimbang ketika seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’


“Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber penyebab kehancuran (kehidupan perumah tangga): bermain perempuan, bermabuk-mabukan, berjudi, dan pertemanan yang buruk, pergaulan yang buruk, persahabatan yang buruk. Seperti halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran keluar, dan seseorang menutup saluran-saluran masuk dan membuka saluran-saluran keluar, dan tidak ada turun hujan, maka ia dapat berharap air dalam waduk tersebut menjadi berkurang dan bukan bertambah; demikian pula, kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pemborosan: bermain perempuan … persahabatan yang buruk.


“Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber penambahan: ia menghindari bermain perempuan, menghindari bermabuk-mabukan, dan menghindari berjudi, dan mengembangkan pertemanan yang baik, pergaulan yang baik, persahabatan yang baik. Seperti halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran keluar, dan seseorang membuka saluran-saluran masuk dan menutup saluran-saluran keluar, dan hujan turun dengan cukup, maka seseorang dapat berharap air dalam waduk tersebut menjadi bertambah dan bukan berkurang; demikian pula, kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber penambahan: ia menghindari bermain perempuan … dan mengembangkan persahabatan yang baik.


“Ini adalah keempat hal itu yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan ini.


“Ada, Byagghapajja, empat hal [lainnya] yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan mendatang. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan.


(5) “Dan apakah kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, seorang anggota keluarga memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kesempurnaan dalam keyakinan.


(6) “Dan apakah kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang anggota keluarga menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.


(7) “Dan apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang anggota keluarga berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepaskan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan kedermawanan.


(8) “Dan apakah kesempurnaan dalam kebijaksanaan? Di sini, seorang anggota keluarga bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kesempurnaan dalam kebijaksanaan.


“Ini adalah keempat hal [lainnya] yang mengarah kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan mendatang.”


Berusaha dalam pekerjaannya,

cermat dalam pengaturannya,

seimbang dalam gaya hidupnya,

ia menjaga kekayaan yang ia peroleh.


Dengan memiliki keyakinan, sempurna dalam moralitas,

dermawan dan hampa dari kekikiran,

ia terus-menerus memurnikan sang jalan

yang mengarah pada keamanan dalam kehidupan mendatang.


Demikianlah kedelapan kualitas ini

dari seorang pencari kehidupan rumah tangga yang berkeyakinan

dikatakan oleh Ia yang dinamai dengan benar

mengarah pada kebahagiaan di kedua keadaan:

kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini,

dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.

Demikianlah bagi mereka yang berdiam di rumah,

kedermawanan dan jasa mereka bertambah.


Sumber:

तिपिटक - सुत्तपिटक - अङ्गुत्तरनिकाय - अट्ठकादिनिपात - (६) १. गोतमीवग्गो - ४. दीघजाणुसुत्तं

Tipiṭaka - Suttapiṭaka - Aṅguttaranikāya - Aṭṭhakādinipāta - (6) 1. Gotamīvaggo - 4. Dīghajāṇusuttaṃ











Note:

Ada hal yang perlu diberikan komentar terhadap terjemahan diatas ini akan makna yang terkandung cukup signifikan perbedaannya dari segi bahasa dan penginterpretasian dari pembaca:


https://pustaka.dhammacitta.org/ebook/theravada/Anguttara%20Nikaya%20Jilid%204.pdf

Menterjemahkan kalimat pada halaman 284 (lembar pdf 264)

dan https://suttacentral.net/an8.54/id/anggara mengcopy paste sepertinya, tanpa pernah meneliti sumbernya, yaitu Tipitaka, bukan lah bahasa Inggrisnya, dengan menuliskan:

"Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pemborosan:"


Yang bersumber dari sini (dan saya yakin tidak sedikit yang menterjemahkan sutta ini berasal dari sumber bahasa Inggris):

http://lirs.ru/lib/sutra/The_Numerical_Discourses_of_the_Buddha,Anguttara_Nikaya,Bodhi,2012.pdf

terdapat kekurang-tepatan penerjemahan dalam bahasa Indonesia dari kalimat yang tertulis demikian pada lembar halaman 1195:

"The wealth thus amassed has four sources of dissipation"


Sedangkan di Tipitaka menuliskan:

एवं समुप्पन्‍नानं, ब्यग्घपज्‍ज, भोगानं चत्तारि अपायमुखानि होन्ति

Evaṃ samuppannānaṃ, byagghapajja, bhogānaṃ cattāri apāyamukhāni honti


  1. Evaṁ (Evaṃ) = thus (demikianlah)
  2. samuppanna = come about, produce (akan terjadi, menghasilkan)
  3. Byagghapajja (Vyagghapajja) = the surname of a Koliyan which has given name Dīghajāṇu (Nama keluarga dari Dighajanu, maka kadang sutta ini juga disebut Byagghapajja Sutta)
  4. bhoga = wealth (kesejahteraan/kekayaan)
  5. cattāri (cattāro) = four (empat)
  6. apāyamukha = cause of ruin / downfall (penyebab keruntuhan, jalan menuju kehancuran)
  7. honti (honta, hotu) = exist (terjadi, ada)


Mungkin ada baiknya jika diterjemahkan sebagai:

Byagghapajja, these are the four causes that ruins one's life.

demikianlah empat sebab yang meruntuhkan (kehidupan).

yang mana Bhagava merujuk kepada perumah tangga yang apabila dilakukan bisa menyebabkan keruntuhan dalam kehidupan rumah tangga dari umat awam.


Tiada satu katapun yang didalam verse tersebut yang tertulis makna kata "pemborosan" dalam bahasa Pali.

Sebab apāyamukha terjemahannya adalah:

  1. apāya = lapse, ruin, loss (kejatuhan, keruntuhan dan kekalahan)
  2. mukha = entrance, opening, front (awal, pembukaan)

apāyamukha berarti penyebab keruntuhan, yang membuka jalan menuju kehancuran


Pada buku "Kamus Umum Buddha Dharma" (Pali - Sanskerta - Indonesia) yang disusun oleh Panjika (Pandit Jinaratana Kaharuddin), menuliskan dengan jelas mengenai apāyamukha ini pada buku tersebut (terbitan tahun 1994, Magha Puja) di halaman 113, No. 233, APĀYAMUKHA: 4 macam sebab yang membawa keruntuhan. Dan tidak diterjemahkan sebagai pemborosan.


Penerjemahan bahasa Indonesia dari verse yang perlu di kaji ulang pada sutta ini adalah:

‘‘एवं समुप्पन्‍नानं, ब्यग्घपज्‍ज, भोगानं चत्तारि अपायमुखानि होन्ति – इत्थिधुत्तो, सुराधुत्तो, अक्खधुत्तो, पापमित्तो पापसहायो पापसम्पवङ्को

Evaṃ samuppannānaṃ, byagghapajja, bhogānaṃ cattāri apāyamukhāni honti – itthidhutto, surādhutto, akkhadhutto, pāpamitto pāpasahāyo pāpasampavaṅko


“Kita tidak bisa menerjemahkan apāyamukha dengan “Pemborosan” dalam bahasa Indonesia. Karena yang dimaksud oleh Sang Buddha saat itu, bukan hanya berbicara tentang materi, tetapi juga terkait mental spiritual dari umat perumah tangga, sehingga menciptakan suasana rumah tangga jadi berantakan atau hancur.


sehingga Beliau menyebut apāyamukha pada verse tersebut. Sementara itu, jika diterjemahkan sebagai pemborosan, maka makna yang terkandung lebih menekankan kepada materi dan sangat rancu sekali. 


sedangkan yang Beliau maksudkan adalah lebih pada pengkondisian kehidupan keluarga yang mengarahkan Dighajanu agar tidak:

1. Menggoda wanita lain (selain istrinya). yang mana hal ini terkait dengan tentang kesenangan seksual - sexual pleasure (bisa di mana saja sejak zaman kuno, tidak hanya pergi ke rumah bordil menghabiskan uang, tapi juga bisa merujuk kepada hubungan cinta terlarang (atau bercinta dengan istri orang lain). Sedangkan selingkuhannya tentu saja tidak selalu miskin, ada juga yang kaya, jangankan dijaman dahulu, dijaman sekarang saja yang kedua belah pihak sama sama berstatus yang tidak miskin, malah gubernur, uang gak kekuarangan, toh pisah juga. Jadi tidak menekankan kepada materi, apalagi pemborosan.


2. Sensasi mabuk (merusak sel otak, atau bisa mengurangi kemampuan memori. Orang tanpa boros boros beli barang yang bisa menjadi mabuk juga bisa atau mengolah sendiri dari beras, dari jaman dulu gak sedikit orang yang memahami cara fermentasi, tidak hanya atau tidak harus ke tempat jual liquor. Pergi ke tempat teman atau penyimpanan gudang yang dimiliki orang tua jaman dahulu kala juga bisa)


3. Adrenalin perjudian - the adrenaline rush of gambling (menghancurkan mental, meskipun seorang penjudi uangnya sudah tinggal sedikit atau pas pasan sekalipun, mereka masih memiliki kerinduan akan sesasi berjudi dan terus mencari cara agar bisa berjudi dengan beragam cara apapun yang mirip perjudian. Ini yang lebih berbahaya. Karena rumah tangga akan tidak  terurus karena keinginannya tersebut! ia cuma sibuk memkirkan bagaimana malam ini saya berjudi?) Dan gak sedikit yang gara gara memiliki KEGEMARAN, atau KESENANGAN atau HOBI dari berjudi ini, membawa petaka atau kehancuran bagi sebuah keluarga. Hidupnya jadi berantakan dan kehidupan anak anak jadi tidak baik (korban tanha dari berjudi).


4. Memiliki hubungan baik dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan buruk atau melakukan kejahatan, itu bukan berbicara tentang uang juga, tetapi melakukan kejahatan yang dapat menghancurkan hidup seseorang. Rasanya kalau penjahat malah mikirnya untung, jangan sampe keluar uang sepeserpun (coba koreksi kalau mungkin ini salah). Segerumulan tersebut kalau ngumpul juga ada banyak yang gak keluar uang sepeser pun, tapi tetap bisa menikmati gaya hidup mereka, minum ada, makan ada, dan plan plan jahat mereka dengan merampas hak ataupun kepemilikan orang lain, dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemborosan.


Sebelum verse ini disebutkan, Bhagava telah menguraikan mengenai "empat hal ini yang mengarah pada kesejahteraan dan KEBAGAHIAAN seorang anggota keluarga dalam kehidupan" (yang berkaitan dengan kehidupan yang seimbang; tentang moral dimasyarakat, bagaimana ia terampil, proaktif, berinisiatif, manajemen yang baik; bagaimana menyimpan uang.)


kemudian barulah di verse ini dijelaskan apa penyebab  keruntuhan dalam kehidupan berrumah tangga.


Bhante Bodhi menterjemahkan apāyamukha sebagai dissipation itu benar! karena makna dissipation pada bahasa Inggris merujuk pada dissipated living! yang dalam bahasa Inggris memiliki makna yang terkait atau merujuk kepada pemabukkan dan sexual pleasure (a descent into drunkenness and sexual dissipation) sehingga melanggar moralitas. 


Sedangkan pemborosan dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang lain, kurang cocok kalau saat menterjemahkan misalnya sexual dissipation (pemborosan seksual? apa ini? seksual penerjemah buku tersebut diboroskan? maksudnya? tidak ada yang faham kalau tertulis demikian) 


Kalau misalnya berbelanja barang yang tidak diperlukan dalam jumlah yang banyak, tentu dapat diterjemahkan sebagai pemborosan. Sudah jelas didalam penguraian 4 hal tersebut tidak ditekankan atau selalu terkait dengan uang. Jadi penerjemahan dari apāyamukha sebagai pemborosan tidak valid.


Mugnkin ada baiknya jika kita perlu mengeksplorasi budaya dan bahasa yang pada kontexnya harus dilakukan, atau bisa juga mengkaji langsung dari sumber Tipitaka akan budaya, situasi dan kondisi pada zaman itu sebelum menerjemahkan kitab suci. Karena apabila langsung menterjemahkan kata kata tanpa pernah mencari tau dari bahasa awalnya (bahasa Pali) maka maknanya jadi rancu. 


atau pada penerjemahan kitab ini yang diterjemahkan ke dalam bhs Indonesia dari bahasa Inggris (penulis Bhikkhu Bodhi). Bahasa Inggrisnya sudah benar, tapi pemahaman kata katanya tidak boleh sembarang diterjemahkan tanpa adanya penelusuran lebih lanjut akan makna penggunaan kata kata tersebut dan penyesuaian makna yang tepat kedalam bahasa Indonesia. Bahasa dan Budaya selalu terkait. Jadi penerjemah harus tau hal tersebut dan penggunaannya.


Padahal hal yang ingin disampaikan Bhagava pada kitab ini sangat penting bagi umat Buddha, khususnya perumah tangga. Tapi terjemahannya jadi seperti tidak bermakna mendalam.


Kalau penerjemah dari Dhammacitta merasa keberatan mungkin bisa di diskusikan kembali. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa