Saturday, September 7, 2024

Bojjhaṅgapabba

 Dhammānupassanā bojjhaṅgapabbaṃ

The factors of enlightenment concerning the observation of the Dhamma.

faktor-faktor pencerahan yang berkaitan dengan pengamatan terhadap Dhamma.


385. ‘‘Puna caparaṃ, bhikkhave, bhikkhu dhammesu dhammānupassī viharati sattasu bojjhaṅgesu. Kathañca pana, bhikkhave, bhikkhu dhammesu dhammānupassī viharati sattasu bojjhaṅgesu? Idha, bhikkhave, bhikkhu santaṃ vā ajjhattaṃ satisambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ satisambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ satisambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ satisambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa satisambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa satisambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ dhammavicayasambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ dhammavicayasambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ dhammavicayasambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ dhammavicayasambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa dhammavicayasambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa dhammavicayasambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ vīriyasambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ vīriyasambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ vīriyasambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ vīriyasambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa vīriyasambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa vīriyasambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ pītisambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ pītisambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ pītisambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ pītisambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa pītisambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa pītisambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ passaddhisambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ passaddhisambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ passaddhisambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ passaddhisambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa passaddhisambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa passaddhisambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ samādhisambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ samādhisambojjhaṅgo’ti pajānāti, asantaṃ vā ajjhattaṃ samādhisambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ samādhisambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa samādhisambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa samādhisambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Santaṃ vā ajjhattaṃ upekkhāsambojjhaṅgaṃ ‘atthi me ajjhattaṃ upekkhāsambojjhaṅgo’ti pajānāti , asantaṃ vā ajjhattaṃ upekkhāsambojjhaṅgaṃ ‘natthi me ajjhattaṃ upekkhāsambojjhaṅgo’ti pajānāti, yathā ca anuppannassa upekkhāsambojjhaṅgassa uppādo hoti tañca pajānāti, yathā ca uppannassa upekkhāsambojjhaṅgassa bhāvanāya pāripūrī hoti tañca pajānāti.


‘‘Iti ajjhattaṃ vā dhammesu dhammānupassī viharati, bahiddhā vā dhammesu dhammānupassī viharati, ajjhattabahiddhā vā dhammesu dhammānupassī viharati. Samudayadhammānupassī vā dhammesu viharati, vayadhammānupassī vā dhammesu viharati, samudayavayadhammānupassī vā dhammesu viharati ‘atthi dhammā’ti vā panassa sati paccupaṭṭhitā hoti yāvadeva ñāṇamattāya paṭissatimattāya anissito ca viharati, na ca kiñci loke upādiyati. Evampi kho, bhikkhave, bhikkhu dhammesu dhammānupassī viharati sattasu bojjhaṅgesu.


Bojjhaṅgapabbaṃ niṭṭhitaṃ.


============


Terjemahan Bahasa Indonesia:


Sekali lagi, bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal mengamati konten mental dalam konten mental, terkait dengan tujuh faktor pencerahan.


Bagaimana, bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal mengamati konten mental dalam konten mental, terkait dengan tujuh faktor pencerahan?


Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu memahami dengan benar ketika faktor pencerahan, kesadaran, ada dalam dirinya: "Faktor pencerahan, kesadaran, ada dalam diriku." Ia juga memahami ketika faktor ini tidak ada: "Faktor pencerahan, kesadaran, tidak ada dalam diriku." Ia memahami bagaimana faktor pencerahan, kesadaran, yang belum muncul dalam dirinya, bisa muncul. Ia juga memahami bagaimana faktor pencerahan, kesadaran, yang sudah muncul, bisa dikembangkan dan disempurnakan.


Demikian pula, ketika faktor pencerahan, penyelidikan Dhamma, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, penyelidikan Dhamma, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, penyelidikan Dhamma, tidak ada dalam diriku." Ia mengetahui bagaimana faktor ini, yang belum muncul, bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Ketika faktor pencerahan, usaha, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, usaha, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, usaha, tidak ada dalam diriku." Ia memahami bagaimana faktor pencerahan, usaha, yang belum muncul bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Ketika faktor pencerahan, kegembiraan, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, kegembiraan, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, kegembiraan, tidak ada dalam diriku." Ia mengetahui bagaimana faktor ini, yang belum muncul, bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Ketika faktor pencerahan, ketenangan, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, ketenangan, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, ketenangan, tidak ada dalam diriku." Ia memahami bagaimana faktor ini, yang belum muncul, bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Ketika faktor pencerahan, konsentrasi, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, konsentrasi, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, konsentrasi, tidak ada dalam diriku." Ia mengetahui bagaimana faktor ini, yang belum muncul, bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Ketika faktor pencerahan, keseimbangan, ada dalam dirinya, ia memahami: "Faktor pencerahan, keseimbangan, ada dalam diriku." Ketika faktor ini tidak ada, ia memahami: "Faktor pencerahan, keseimbangan, tidak ada dalam diriku." Ia memahami bagaimana faktor ini, yang belum muncul, bisa muncul, dan bagaimana faktor yang sudah muncul dapat dikembangkan dan disempurnakan.


Dengan demikian, ia tinggal mengamati konten mental dalam konten mental secara internal, atau ia tinggal mengamati konten mental dalam konten mental secara eksternal, atau ia tinggal mengamati konten mental dalam konten mental baik secara internal maupun eksternal. Ia mengamati fenomena muncul dalam konten mental, fenomena menghilang dalam konten mental, dan fenomena muncul dan menghilang dalam konten mental. Sekarang kesadarannya telah ditegakkan: "Ini adalah konten mental!" Dengan cara ini, ia mengembangkan kesadarannya sampai mencapai pemahaman semata disertai dengan kesadaran semata. Dengan cara ini, ia tinggal terlepas, tanpa melekat pada apapun di dunia [pikiran dan materi]. Inilah cara, bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal mengamati konten mental dalam konten mental terkait dengan tujuh faktor pencerahan.


============


English Translation:


Again, monks, a monk dwells observing mental contents in mental contents with respect to the seven factors of enlightenment.

How, monks, does a monk dwell observing mental contents in mental contents with respect to the seven factors of enlightenment?


Here, monks, a monk properly understands when the factor of enlightenment, awareness, is present in him: "The factor of enlightenment, awareness, is present in me." He also understands when this factor is absent: "The factor of enlightenment, awareness, is absent from me." He comprehends how the factor of enlightenment, awareness, that has not yet arisen in him, comes to arise. He also understands how the factor of enlightenment, awareness, that has arisen, can be developed and perfected.


Similarly, when the factor of enlightenment, investigation of Dhamma, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, investigation of Dhamma, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, investigation of Dhamma, is absent from me." He knows how this factor, not yet arisen, comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


When the factor of enlightenment, effort, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, effort, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, effort, is absent from me." He comprehends how the factor of enlightenment, effort, that has not yet arisen comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


When the factor of enlightenment, rapture, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, rapture, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, rapture, is absent from me." He knows how this factor, not yet arisen, comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


When the factor of enlightenment, tranquility, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, tranquility, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, tranquility, is absent from me." He comprehends how this factor, not yet arisen, comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


When the factor of enlightenment, concentration, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, concentration, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, concentration, is absent from me." He knows how this factor, not yet arisen, comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


When the factor of enlightenment, equanimity, is present in him, he understands: "The factor of enlightenment, equanimity, is present in me." When it is absent, he understands: "The factor of enlightenment, equanimity, is absent from me." He comprehends how this factor, not yet arisen, comes to arise, and how the factor that has arisen can be developed and perfected.


Thus, he dwells observing mental contents in mental contents internally, or he dwells observing mental contents in mental contents externally, or he dwells observing mental contents in mental contents both internally and externally. He dwells observing the phenomena of arising in mental contents, the phenomena of passing away in mental contents, and the phenomena of both arising and passing away in mental contents. Now his awareness is established: "These are mental contents!" Thus, he develops his awareness to such an extent that there is mere understanding alongside mere awareness. In this way, he dwells detached, without clinging to anything in the world [of mind and matter]. This is how, monks, a monk dwells observing mental contents in mental contents with respect to the seven factors of enlightenment.

Sunday, September 1, 2024

Sundari Sutta

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan merupakan orang yang terpenuhi kebutuhan hidup Nya (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan). Dan bhikkhu sangha juga dihormati …..


Tetapi para pertapa kelana aliran lain tidak dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan mereka tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya akan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Kemudian para pertapa kelana aliran lain itu, karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditunjukkan banyak orang terhadap Sang Bhagava dan bhikkhu sangha, mendekati Sundari si pertapa kelana wanita dan berkata, 


“Saudari, maukah anda melakukan sesuatu yang berguna bagi kerabatmu?”

“Apa yang dapat saya lakukan, tuan-tuan? Apa yang dapat saya lakukan? Saya akan mengorbankan bahkan hidup saya demi kerabat-kerabat saya.”

“Kalau demikian, saudari, seringlah pergi ke Hutan Jeta.”

“Baiklah, tuan-tuan,” 


Sundari si pertapa kelana wanita itu menjawab, dan dia sering pergi ke Hutan Jeta. Kemudian, ketika para pertapa kelana itu mengetahui bahwa Sundari si pertapa kelana wanita telah dilihat banyak orang sering pergi ke Hutan Jeta, mereka membunuhnya dan menguburnya di sana, di sebuah lubang yang digali di parit Hutan Jeta. Kemudian mereka pergi ke Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata, 


“Raja yang Agung, Sundari si pertapa kelana wanita tidak dapat ditemukan.”

“Kamu curiga dia berada di mana?”

“Di Hutan Jeta, Paduka Raja.”

“Kalau begitu, periksa Hutan Jeta.”


Waktu memeriksa Hutan Jeta para pertapa kelana itu menggali mayat Sundari dari lubang di parit tempat dia dikuburkan, dan meletakkannya di tandu, dan membawanya ke Savatthi. Waktu berjalan dari jalan ke jalan dan dari perempatan ke perempatan, mereka menimbulkan kemarahan orang-orang dengan mengatakan: 


“Lihatlah, tuan-tuan, pekerjaan para pengikut putra Sakya. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, adalah orang yang tidak tahu malu, tidak bermoral, tidak baik kelakuannya, pembohong, bukan penganut kehidupan suci. 


Mereka menyatakan bahwa mereka hidup dengan Dhamma, bahwa mereka menjalani kehidupan yang seimbang, bahwa mereka menjalani kehidupan suci, bahwa mereka adalah pembicara-pembicara kebenaran, bahwa mereka saleh dan berkelakuan baik, tetapi mereka tidak pantas sebagai pertapa, mereka tidak pantas sebagai brahmana; status pertapa mereka rusak, status brahmana mereka rusak. 


Dimana status pertapa mereka? Dimana status brahmana mereka? Mereka telah kehilangan status pertapa mereka, mereka telah kehilangan status brahmana mereka. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”


Karena ini, ketika orang-orang melihat para bhikkhu di Savatthi, 

mereka mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan dan kata-kata kasar: 


“Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak punya malu, tidak bermoral, berkelakuan buruk ….. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”


Kemudian sejumlah bhikkhu, setelah mengenakan jubah sebelum siang hari dan mengambil mangkuk serta jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan makanan dan kembali; setelah bersantap, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Saat ini, Bhante, bila orang-orang melihat bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut, dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar…..”


“Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Ini akan berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu akan lenyap. Jadi, O, bhikkhu, bila orang-orang mencerca para bhikkhu, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar, kamu harus menanggapi dengan syair ini:

Penuduh salah pergi ke neraka,
Dan juga ia yang menyangkal perbuatan yang telah ia lakukan,
Keduanya ini menjadi sama di sana,
Manusia yang perbuatannya tidak terhormat akan berada di alam sana.


Maka para bhikkhu itu mempelajari syair ini di hadapan Sang Bhagava, dan ketika orang-orang itu, waktu melihat para bhikkhu, mencerca mereka, mereka menanggapi dengan syair itu.


Kemudian orang-orang itu berpikir: 

“Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak melakukannya; itu tidak dilakukan oleh mereka. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, sedang menegaskan (ketidak-salahan mereka).” 

Dan kegemparan itu berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu, lenyap.


Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bagus sekali, Bhante! Luar biasa! Alangkah bagusnya hal ini diramalkan Sang Bhagava: ‘Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Setelah tujuh hari akan lenyap.’ Bhante, kegemparan itu telah lenyap.”


Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:


Bersabarlah oh para siswa,

manakala mendengar ucapan kasar yang menusuk hati,

diutarakan oleh orang-orang yang tidak menunjung tinggi kebajikan dan keluhuran,

jangan biarkan niat jahat ataupun amarah (kemurkaan) merajalela didalam batin,

bagaikan pasukan gajah perang

yang menahan dan meruntuhkan hujan anak panah."




Source:
tipiṭaka, suttapiṭaka, khuddakanikāya, udānapāḷi, 4. meghiyavaggo, 8. sundarīsuttaṃ.
तिपिटक, सुत्तपिटक, खुद्दकनिकाय, उदानपाळि, ४। मेघियवग्गो, ८। सुन्दरीसुत्तं।
大藏经, 经藏, 小部经典, 自说部, 第四篇 梅希耶篇, 第八经 美丽经



8. Sundarīsuttaṃ

38. Evaṃ me sutaṃ – ekaṃ samayaṃ bhagavā sāvatthiyaṃ viharati jetavane anāthapiṇḍikassa ārāme. Tena kho pana samayena bhagavā sakkato hoti garukato mānito pūjito apacito lābhī cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ . Bhikkhusaṅghopi sakkato hoti garukato mānito pūjito apacito lābhī cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ. Aññatitthiyā pana paribbājakā asakkatā honti agarukatā amānitā apūjitā anapacitā na lābhino cīvarapiṇḍapātasenāsanagilānapaccayabhesajjaparikkhārānaṃ.

Atha kho te aññatitthiyā paribbājakā bhagavato sakkāraṃ asahamānā bhikkhusaṅghassa ca yena sundarī paribbājikā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā sundariṃ paribbājikaṃ etadavocuṃ – ‘‘ussahasi tvaṃ, bhagini, ñātīnaṃ atthaṃ kātu’’nti? ‘‘Kyāhaṃ, ayyā, karomi? Kiṃ mayā na sakkā [kiṃ mayā sakkā (syā. pī.)] kātuṃ? Jīvitampi me pariccattaṃ ñātīnaṃ atthāyā’’ti.

‘‘Tena hi, bhagini, abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ gacchāhī’’ti. ‘‘Evaṃ, ayyā’’ti kho sundarī paribbājikā tesaṃ aññatitthiyānaṃ paribbājakānaṃ paṭissutvā abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ agamāsi.

Yadā te aññiṃsu aññatitthiyā paribbājakā – ‘‘vodiṭṭhā kho sundarī paribbājikā bahujanena abhikkhaṇaṃ jetavanaṃ gacchatī’’ti [gacchatīti (sī. syā. kaṃ. pī.)]. Atha naṃ jīvitā voropetvā tattheva jetavanassa parikhākūpe nikkhipitvā [nikhanitvā (sī. syā. pī.)] yena rājā pasenadi kosalo tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā rājānaṃ pasenadiṃ kosalaṃ etadavocuṃ – ‘‘yā sā, mahārāja, sundarī paribbājikā; sā no na dissatī’’ti. ‘‘Kattha pana tumhe āsaṅkathā’’ti ? ‘‘Jetavane, mahārājā’’ti. ‘‘Tena hi jetavanaṃ vicinathā’’ti.

Atha kho te aññatitthiyā paribbājakā jetavanaṃ vicinitvā yathānikkhittaṃ parikhākūpā uddharitvā mañcakaṃ āropetvā sāvatthiṃ pavesetvā rathiyāya rathiyaṃ siṅghāṭakena siṅghāṭakaṃ upasaṅkamitvā manusse ujjhāpesuṃ –

‘‘Passathāyyā samaṇānaṃ sakyaputtiyānaṃ kammaṃ! Alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino. Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti! Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’ti!

Tena kho pana samayena sāvatthiyaṃ manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti –

‘‘Alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino . Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti! Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’ti!

Atha kho sambahulā bhikkhū pubbaṇhasamayaṃ nivāsetvā pattacīvaramādāya sāvatthiṃ piṇḍāya pāvisiṃsu. Sāvatthiyaṃ piṇḍāya caritvā pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkantā yena bhagavā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu. Ekamantaṃ nisinnā kho te bhikkhū bhagavantaṃ etadavocuṃ –

‘‘Etarahi, bhante, sāvatthiyaṃ manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti – ‘alajjino ime samaṇā sakyaputtiyā dussīlā pāpadhammā musāvādino abrahmacārino. Ime hi nāma dhammacārino samacārino brahmacārino saccavādino sīlavanto kalyāṇadhammā paṭijānissanti. Natthi imesaṃ sāmaññaṃ, natthi imesaṃ brahmaññaṃ. Naṭṭhaṃ imesaṃ sāmaññaṃ, naṭṭhaṃ imesaṃ brahmaññaṃ. Kuto imesaṃ sāmaññaṃ, kuto imesaṃ brahmaññaṃ? Apagatā ime sāmaññā, apagatā ime brahmaññā. Kathañhi nāma puriso purisakiccaṃ karitvā itthiṃ jīvitā voropessatī’’’ti!

‘‘Neso, bhikkhave, saddo ciraṃ bhavissati sattāhameva bhavissati. Sattāhassa accayena antaradhāyissati. Tena hi, bhikkhave, ye manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti, te tumhe imāya gāthāya paṭicodetha –

‘‘‘Abhūtavādī nirayaṃ upeti,

Yo vāpi [yo cāpi (sī. pī. ka.)] katvā na karomi cāha;

Ubhopi te pecca samā bhavanti,

Nihīnakammā manujā paratthā’’’ti.

Atha kho te bhikkhū bhagavato santike imaṃ gāthaṃ pariyāpuṇitvā ye manussā bhikkhū disvā asabbhāhi pharusāhi vācāhi akkosanti paribhāsanti rosanti vihesanti te imāya gāthāya paṭicodenti –

‘‘Abhūtavādī nirayaṃ upeti,

Yo vāpi katvā na karomicāha;

Ubhopi te pecca samā bhavanti,

Nihīnakammā manujā paratthā’’ti.

Manussānaṃ etadahosi – ‘‘akārakā ime samaṇā sakyaputtiyā. Nayimehi kataṃ. Sapantime samaṇā sakyaputtiyā’’ti. Neva so saddo ciraṃ ahosi. Sattāhameva ahosi. Sattāhassa accayena antaradhāyi.

Atha kho sambahulā bhikkhū yena bhagavā tenupasaṅkamiṃsu; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdiṃsu. Ekamantaṃ nisinnā kho te bhikkhū bhagavato etadavocuṃ –

‘‘Acchariyaṃ, bhante, abbhutaṃ, bhante! Yāva subhāsitaṃ cidaṃ bhante bhagavatā – ‘neso, bhikkhave, saddo ciraṃ bhavissati. Sattāhameva bhavissati. Sattāhassa accayena antaradhāyissatī’ti. Antarahito so, bhante, saddo’’ti.

Atha kho bhagavā etamatthaṃ viditvā tāyaṃ velāyaṃ imaṃ udānaṃ udānesi –

‘‘Tudanti vācāya janā asaññatā,

Sarehi saṅgāmagataṃva kuñjaraṃ;

Sutvāna vākyaṃ pharusaṃ udīritaṃ,

Adhivāsaye bhikkhu aduṭṭhacitto’’ti. aṭṭhamaṃ;

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa