Monday, December 24, 2012

Makhluk Surgawi Bernama Ankura

Asal mula riwayat ini diawali pada masa kegelapan
(setelah lenyapnya Sāsana Buddha Kassapa).
Ia adalah anak termuda dari Pangeran Upasagara dan putri Devagabbha.
Pangeran Upasagara adalah putra Raja Maha Sagara dari kerajaan Uttaramadhuraj,
dan Putri Devagabbha adalah putri dari Mahakamsa, penguasa Asitanjana,
sebuah provinsi di kerajaan Uttarapatha.
Kakak laki-laki tertuanya adalah Vasudeva dan
kakak perempuan tertua adalah Anjanadevi.




Saat ia dewasa, kakak laki-laki tertuanya
menjadikan ia penguasa sebuah kota yang berhak
menerima penghasilan dari kota itu.

Kota itu adalah bagian dari rampasan atas
kemenangan kakaknya menaklukkan seluruh
Jambudipa dengan kekuatan politisnya.
Tetapi kemudian ia menyerahkan kota itu
kepada kakak perempuan tertuanya, Putri Anjana.

Ia hanya memohon pembebasan pajak atas
barang-barang dagangan yang ia perdagangkan di dalam provinsi mereka.
Ia menjalani kehidupan sebagai seorang pedagang bebas.
Ia bahagia dan puas dengan apa yang ia miliki.

Suatu kali, ia mendapat masalah besar karena
kekurangan perbekalan dalam perjalanannya menyeberangi gurun pasir.
Di sana terdapat dewa penjaga pohon banyan
yang memiliki kesaktian dapat menciptakan barang apa pun
yang diinginkan seseorang hanya dengan menggerakkan tangan kanannya.

Ia adalah dewa yang tahu membalas budi dan
ia memenuhi kebutuhan pangeran dan pengikutnya itu
dengan menciptakan barang-barang keperluan mereka
dengan mengacungkan jari tangan kanannya,
sebagai balas jasa kepada pangeran yang telah berjasa kepadanya
pada kehidupan sebelumnya.

Pangeran, terheran-heran, bertanya kepadanya
tentang kesaktiannya dan ia menjawab,
Aku adalah seorang penjahit miskin yang tinggal
di dekat rumah seorang kaya, Asayha, di Kota Roruva.

Suatu hari si orang kaya memberikan dana kepada
orang miskin dan aku dengan gembira membantu
orang-orang miskin itu dengan mengacungkan jariku
menunjukkan arah menuju paviliun tempat si orang kaya memberikan dana.

Demikianlah aku menikmati buah dari perbuatan suka rela itu dan
aku dapat menyediakan semua barang yang diperlukan manusia,
seperti makanan, pakaian, yang berlimpah-limpah dari tangan kananku ini.

Untuk meniru dewa penjaga pohon banyan itu,
Pangeran Ankura, setibanya kembali di kerajaan Dvaravati,
memberikan dana kepada setiap orang di seluruh Jambudipa
(sepuluh ribu yojana luasnya); perbuatan dana ini merugikan sistem perpajakan. Proses penarikan pajak menjadi terganggu dan kakak tertuanya
terpaksa menasihatinya agar memberikan dana secara proporsional.

Ia pindah ke Kota Dakkhinapatha di kerajaan Damila
untuk melanjutkan perbuatan dana dalam wilayah seluas 12 yojana,
di tepi laut.

Di seluruh wilayah itu ia menempatkan barisan kendi-kendi
yang saling bersinggungan yang berisi dana makanan.
Ia hidup hingga usia sepuluh ribu tahun,
dan selama itu ia selalu memberikan dana.
Setelah meninggal dunia ia terlahir kembali
di Surga Tavatimsa dengan nama yang sama, Ankura.

Meskipun Ankura telah memberikan dana yang cukup banyak
dan dalam waktu yang sangat lama, ia tidak memperoleh jasa
sebanyak perbuatannya, hal ini karena,

penerima dananya adalah orang-orang yang miskin kebajikan
yang hidup pada masa kegelapan Sāsana,
bagaikan seorang petani yang menanam benihnya di tanah yang gersang.
(Demikianlah riwayat singkat kehidupan Ankura. Untuk penjelasan lengkap, dapat merujuk pada Peta Vatthu Kitab Pali: 2 - Ubbari Vagga: 9. Ankura Peta Vatthu).




Riwayat Dewa Indaka
Pada masa Buddha Gotama kita,
dan selagi Dewa Ankura menikmati kehidupan sebagai dewa di Alam Tavatimsa,
seorang pemuda bernama Indaka dengan penuh keyakinan mempersembahkan,
sesendok nasi, kepada Thera Anuruddha yang sedang mengumpulkan dana makanan.

Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali sebagai dewa yang berkuasa
di Surga Tavatimsa yang memiliki sepuluh hak istimewa makhluk surga
sebagai buah dari kebajikannya yang ia lakukan semasa Sāsana Buddha Gotama,
bagaikan seorang petani yang menanam benihnya di tanah yang subur.

Ia dikenal dengan nama Indaka.
Sepuluh hak istimewa makhluk surga adalah:


1. dapat melihat objek-objek surga,
2. dapat mendengar,
3. dapat mencium,
4. dapat mengecap,
5. dapat menyentuh,
6. panjang usia,
7. banyak pengikut,
8. berpenampilan elok,
9. kaya atau makmur, dan
10. keunggulan.

Dewa Ankura harus memberikan tempatnya kepada
para dewa dan brahma yang lebih berkuasa
yang menghadiri festival besar Abhidhamma,
dan ia terpaksa mundur hingga 12 yojana jauhnya dari Tathāgata,

sedangkan Dewa Indaka dapat mempertahankan tempatnya
tanpa harus memberikan kepada makhluk-makhluk surga lainnya.

Tathāgata mengetahui perbedaan status Dewa Ankura dan Dewa Indaka,
Beliau berpikir adalah baik sekali diceritakan,
untuk memberikan pendidikan kepada makhluk-makhluk,
perbedaan manfaat yang diperoleh dari kebajikan yang dilakukan
pada saat berkembangnya Sāsana para Buddha dan kebajikan
yang dilakukan pada masa tidak adanya Sāsana.

Oleh karena itu, Tathāgata, bertanya kepada Ankura,
"Ankura? mengapa engkau harus berada 12 yojana jauhnya dari-Ku,
padahal engkau telah memberikan dana makanan
yang diletakkan dalam barisan kendi-kendi
sepanjang 12 yojana selama sepuluh ribu tahun?"


Mahadanam taya dinnam
Ankura dighamantare
atidure nisinnosi
agaccha mama santike

O umat awam Ankura...
mengapa engkau harus mundur dan memberikan tempatmu
kepada para dewa dan brahma yang berkuasa
saat mereka tiba di festival Abhidhamma ini,
padahal engkau telah memberikan dana makanan
yang diletakkan dalam barisan kendi-kendi
sepanjang 12 yojana selama sepuluh ribu tahun?
Sekarang engkau berada 12 yojana jauhnya dari-Ku.

Datanglah dan duduk di depan-Ku!
Kata-kata Buddha yang diucapkan dalam syair
yang berbentuk pertanyaan ini
terdengar hingga ke alam manusia di bumi.

Jawaban Dewa Ankura atas pertanyaan Tathāgata
terdiri dari satu setengah bait (6 pada)
dan setengah bait lagi (dua baris)
ditambahkan oleh Thera Sangatikaraka sehingga berjumlah dua bait,
dan tercatat pada Konsili Buddhis dalam bahasa Pali sebagai berikut:

Codito bhavitattena
Ankuro etadabravi
kim mayham tena danena
dakkhineyyena sunnatam
Ayam so Indako yakkho
dajja danam parittakam
atirocati amhehi
cando taragane yatha


Ditanya oleh Buddha yang telah melatih dua jenis meditasi
yang mendukung ketenangan batin dan jasmani,
Dewa Ankura, yang telah melakukan kebajikan pada masa kegelapan
yang kosong dari Sāsana dalam waktu yang lama,
dengan penuh hormat menjawab, sebagai berikut,
"Yang Mulia Tathāgata...itu adalah karena kebajikan yang
kulakukan pada masa gelap yang kosong dari Sāsana
saat tidak ada seorang pun yang layak menerima dana.
Bagaimana mungkin kebajikanku yang kulakukan
dalam waktu yang lama selama masa kegelapan yang hampa Sāsana,
dapat membantuku mendapatkan tempat yang baik!"

Dewa Indaka, yang berada [berposisi] di hadapan Bhagava,
hanya memberikan sesendok nasi kepada Thera Anuruddha,
dengan penuh keyakinan, ia menerima balasan yang jauh melebihiku
bagaikan bulan keperakan yang sinarnya mengalahkan bintang-bintang;
dan oleh karena itu, ia beruntung dapat menikmati
sepuluh hak istimewa para dewa yang lebih unggul
daripada mereka yang sepertiku, yang,
melakukan kebajikan selama masa gelap yang hampa Sāsana!

Selanjutnya, Tathāgata bertanya kepada Dewa Indaka,
"Indaka..engkau duduk di sebelah kanan-Ku tanpa berpindah.
Mengapa engkau tidak bergeser dan memberikan tempatmu
kepada para dewa yang lebih berkuasa saat mereka tiba?"

Indaka menjawab,
"Yang Mulia Tathāgata,
yang terjadi padaku dapat diumpamakan seperti
seorang petani yang menanam sedikit benihnya di tanah yang subur,
aku beruntung dapat bertemu dengan seorang yang
layak menerima persembahan,"

dan ia melanjutkan dengan mengucapkan
empat bait syair pujian terhadap kualitas penerima dana:

Ujjangale yatha khette
bijam bahumpi ropitam
na phalam vipulam hoti
napi toseti kassakam.
Tatheva danam bahukam
dussilesu patitthitam
na phlam vipulam hoti
napi toseti dayakam.


Meskipun sejumlah besar benih ditanam
di sepetak tanah di bukit berbatu, asin, panas,
kering, dan gersang,
hasilnya tidak berarti dan mengecewakan si petani.

Demikian pula, meskipun banyak persembahan
diberikan kepada penerima yang miskin kebajikan
selama masa kegelapan yang hampa dari Sāsana,
manfaat yang diperoleh adalah tidak berarti dan mengecewakan si pemberi.


Yathapi bhaddake khette
bijam appampi ropitam
Samma dharam pavecchante
phalam toseti kassakam

Tatheva Silavantesu
gunavantesu tadisu
appakam pi katam karam
punnam hoti mahapphalam


Yang Mulia Tathāgata..
bagaikan hasil panen yang memuaskan seorang petani
yang bekerja keras dalam menanam benih di tanah yang subur
(tanah kelas satu) yang disirami oleh hujan setiap lima belas hari;
atau (tanah kelas dua) yang disirami oleh hujan setiap sepuluh hari,
(tanah kelas tiga) yang disirami hujan setiap lima hari.

Demikian pula, hasil yang diperoleh dari kebajikan
memberikan dana kepada Ariya Puggala,
yang mulia dan penuh pengendalian diri,
akan memberikan kekayaan dan kemakmuran,
bagaikan hasil panen dari benih yang tumbuh di tanah yang subur.


Demikianlah Indaka menjelaskan
perbedaan antara kebajikan yang dilakukan
kepada dua jenis penerima pada dua masa yang berbeda,

dalam bentuk syair empat bait.
Selanjutnya Tathāgata berkata,

Ankura..sebaiknya seseorang memilih barang yang akan didanakan
dan siapa penerima dana itu:
"Buah yang diharapkan hanya dapat terwujud dengan memilih barang
yang akan didanakan dan siapa yang akan menerima dana itu,

bagaikan benih yang baik yang ditanam di tanah yang subur.

Tentu saja, engkau tidak dapat memberikan dana
dengan cara demikian karena engkau terlahir
pada waktu yang salah saat tidak ada Sāsana,
bukan pada waktu yang tepat, saat berkembangnya Sāsana.
Demikianlah, kebajikanmu tidak berbuah banyak seperti Indaka."

Empat bait syair berikut ini diucapkan oleh Tathāgata sebagai penjelasan:


Viceyya danam databbam
yattha dinnam mahapphalam
viceyya danam datvana
saggam gacchanti dayaka
viceyya dinam sugatappasattham
ye dakkhineyya idha jivaloke
etesu dinnani mahapphalani
bijani vuttani yatha sukhette

O Dewa Ankura..
dana yang dipersembahkan kepada individu yang mulia
dengan penuh keyakinan dan kedermawanan
akan mengakibatkan manfaat yang berlimpah.
Penerima dana harus dipilih sebelum memberikan dana.
Persembahan dana kepada orang terpilih
dengan penuh keyakinan dan kedermawanan
selalu membawa si penyumbang ke alam dewa.

Memilih barang yang akan didanakan dan
memilih siapa yang akan menerima dana adalah
tindakan yang dipuji oleh para Buddha.
Banyak orang-orang mulia di dunia ini.

Persembahan yang diberikan kepada orang-orang mulia ini
dengan penuh keyakinan dan kedermawanan akan selalu
mengakibatkan kekayaan dan kebahagiaan kepada si penyumbang
selagi hidup di alam manusia dan di alam dewa
sebelum akhirnya mencapai tujuan akhir, Nibbana,
bagaikan menanam benih-benih pilihan yang terdiri lima jenis, bijagam.



Tathāgata melanjutkan membabarkan empat bait syair lagi yang mengarah ke Nibbana melalui tingkat-tingkat Jalan dan Buahnya:

(1) Tinadosani Khettani
ragadosa ayam paja
tasma hi vitaragesu
dinnam hoti mahapphalam

Ada contoh di mana benih yang baik 'bijagam' dilemparkan ke lahan yang penuh dengan rumput dan semak belukar. Sama seperti dana yang dipersembahkan kepada manusia dan dewa yang miskin kebajikan dan penuh nafsu, raga. Oleh karena itu, dana harus dipersembahkan kepada Ariya Puggala yang bebas dari nafsu, raga dengan pikiran untuk menikmati kenikmatan duniawi di alam manusia dan dewa sebelum mencapai tujuan akhir, Nibbana.


(2) Tinadosani Khettani
dosadosa ayam paja
tasma hi vitadosesu
dinnam hoti mahapphalam.

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula ada manusia dan dewa yang miskin kebajikan dan penuh kebencian, oleh karena itu, seseorang harus memeriksa dan mempersembahkan dana kepada ia yang bebas dari kebencian, sehingga ia dapat menikmati kehidupan duniawi di alam manusia dan dewa sebelum mencapai tujuan akhir, Nibbana.


(3) Tinadosani Khettani
mahadosa ayam paja
tasma hi vitamohesu
dinnam hoti mahapphalam

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang secara alami penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula, dana hendaknya dipersembahkan hanya kepada Ariya Puggala, yang bebas dari kebodohan, yang akan membawa kebahagiaan bagi seseorang di alam manusia dan dewa sebelum tercapainya tujuan akhir, Nibbana.


(4) Tinadosani Khettani
Icchadosa ayam paja
tasma hi vigaticchesu
dinnam hoti mahapphalam

Seperti halnya ada tanah yang subur dan baik untuk ditanami yang secara alami penuh dengan rumput dan semak belukar, demikian pula, manusia dan dewa secara alami dikuasai oleh lima jenis nafsu kenikmatan lima indria. Oleh karena itu, persembahan harus diberikan kepada Ariya Puggala yang bebas dari iccha; kebajikan ini akan membawa kepada kehidupan yang menyenangkan di alam manusia dan dewa dan bahkan membantu dalam mencapai tujuan akhir, Nibbana.

Pada akhir khotbah itu, Dewa Ankura dan Dewa Indaka mencapai tingkat Sotapatti; khotbah ini juga membawa manfaat besar bagi para dewa dan brahma.

No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa