Saturday, December 22, 2012

Kisah Uttara Yang Memiliki Cinta Kasih Tidak Membalas

Uttara adalah putri dari Punna,
seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya bernama Sumana di Rajagaha.




Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera
di saat beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan mental yang dalam
(nirodha sampatti).
Sebagai akibat dari perbuatan baik itu,
mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di tanah yang ia bajak,
dan secara resmi raja menyatakan Punna sebagai seorang bankir yang besar.

Pada suatu kesempatan,
Punna sekeluarga berdana makanan kepada Sang Buddha dan
para bhikkhu selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh,
setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha,
mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Uttara, putri Punna menikah dengan anak Sumana.
Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis,
sehingga Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya.

Iapun bercerita kepada ayahnya, Punna,
"Ayah, mengapa ayah mengurung saya di kandang ini ?
Di sini saya tidak melihat para bhikkhu dan
saya tidak memiliki kesempatan berdana kepada para bhikkhu."

Punna menjadi menyesal dan ia segera memberi uang sebesar
15.000 kepada Uttara. Setelah mendapat ijin dari suaminya,
Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang wanita
untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya.

Akhirnya ditetapkan bahwa Sirima,
seorang pelacur yang sangat cantik dan terkenal,
menggantikannya sebagai seorang istri selama 15 hari.

Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha
dan para bhikkhu. Pada hari ke lima belas,
saat ia sibuk menyiapkan makanan di dapur,
suaminya melihat dari balik jendela kamar dan tersenyum
seraya bergumam pada dirinya sendiri,

"Betapa bodohnya ia. Dia tak tahu cara bersenang-senang.
Dia selalu menyibukkan diri dengan upacara pemberian dana."

Sirima melihat suami Uttara tersenyum pada Uttara,
ia menjadi sangat cemburu pada Uttara,
ia lupa bahwa dirinya hanya sebagai istri pengganti yang dibayar.

Menjadi tak terkendali, segera Sirima pergi ke dapur dan
mengambil sesendok besar mentega panas dengan maksud
mengguyurkannya di kepala Uttara. Uttara melihatnya datang,
namun ia tidak memiliki maksud buruk pada Sirima.
Ia menyadari, berkat Sirimalah ia dapat mendengarkan Dhamma,
berdana makanan, dan berbuat kebaikan lainnya,
sehingga ia
merasa berterima kasih pada Sirima.

Tiba-tiba ia menyadari bahwa Sirima datang mendekat dan
hendak menuangkan mentega panas ke arahnya, iapun berseru,
"Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima,
biarlah mentega panas ini melukaiku,
tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya,
mentega panas ini tak akan melukaiku."

Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap Sirima,
mentega panas yang dituang di kepalanya hanya terasa bagai air dingin.
Sirima berpikir pasti mentega itu telah menjadi dingin saat dituangkan,
maka ia bermaksud mengambil mentega panas yang lain.

Saat hendak menuangkan mentega panas tersebut,
pelayan-pelayan Uttara menyerang dan memukulnya keras-keras.
Uttara menghentikan para pelayannya dan menyuruh mereka
mengobati luka Sirima dengan balsam.

Akhirnya Sirima teringat akan kedudukannya yang sebenarnya,
dan ia menyesal bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap Uttara,
dan meminta Uttara mengampuninya. Uttarapun menjawab,

"Aku memiliki seorang ayah.
Aku harus bertanya kepadanya
apakah aku harus menerima permintaan maafmu."
Sirima berkata bahwa ia siap pergi memohon pengampunan
pada Punna, ayah Uttara.

Uttara menjelaskan padanya,
"Sirima, saat aku mengatakan ''ayahku'',
maksud saya bukan ayahku yang sebenarnya,
yang membawaku pada rantai kelahiran kembali ini.

Yang kumaksud ''ayahku'' adalah Sang Buddha,
yang telah menolongku memotong rantai kelahiran kembali,
yang telah mengajariku Dhamma, kebenaran sejati."

Sirima pun memohon untuk bertemu dengan Sang Buddha.
Sehingga pada hari berikutnya direncanakan Sirima
akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Setelah bersantap, Sang Buddha diberitahu perihal Sirima dan Uttara.
Kemudian Sirima mengakui bahwa ia telah berbuat kesalahan
terhadap Uttara dan memohon Sang Buddha apakah ia dapat dimaafkan,
karena jika tidak, Uttara tidak akan memaafkannya.

Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Uttara
bagaimana perasaannya saat Sirima menyiramkan mentega panas ke arahnya.

Uttara pun menjawab,
"Bhante, karena saya telah berhutang budi pada Sirima,
saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya.
Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya."

Lalu Sang Buddha berkata
"Bagus, bagus, Uttara!
Dengan tidak memiliki maksud jahat,
kau telah mengatasi mereka yang berbuat kesalahan padamu.
Dengan tidak melukai, kau dapat mengatasi mereka yang melukaimu.
Dengan bermurah hati kau dapat mengatasi orang kikir,
dengan berbicara benar kau dapat mengatasi mereka yang berbohong."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 223 berikut :

"Akkodhena jine kodham
asadhum sadhuna jine
jine kadariyam danena
saccena` likavidinam."

Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih
dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.

Sirima dan lima ratus wanita mencapai
tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.





中文正體字的翻譯,請按這裡
中文简化字的翻译,请按这儿

No comments:

Post a Comment

Pesan orang tua

Ayo ngelakoni apik, sing seneng weweh, (pokok'e nek kasih sesuatu aja diitung) aja nglarani atine uwong.
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.
"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar iku ingaran mustikaning laku." -
Ms. Shinta & Paribasan Jowo

Terjemahan

Mari melakukan kebaikan dan senang berdarma-bakti, jangan pernah dihitung-hitung kalau sudah berbuat baik.
Janganlah menyakiti hati orang lain.
Jadi orang jangan cuma merasa bisa dan merasa pintar, tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
"Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup.
Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratnya bagaikan sebuah mustika
(sebuah hal yang sangat indah) dalam praktek kehidupan"
- Bu Shinta & Pepatah Jawa